Kehidupan keluarga Rina dan Satria berjalan harmonis, dihiasi tawa ceria Fahri dan Faiz. Namun, di balik kebahagiaan itu, sebersit kegelisahan mulai menyelinap ke dalam hati Rina. Awalnya, ia mengabaikannya, berpikir itu hanya kecemasan wajar seorang ibu. Tapi, firasat itu semakin kuat, mengusik ketenangan batinnya.
Rina mulai menyadari bahwa Fahri terlihat lebih kurus dari biasanya. Perawakan Fahri memang ramping, tapi akhir-akhir ini tulang pipinya semakin menonjol, dan otot-otot di lengannya tampak mengendur. Baju-baju yang semula pas kini terlihat kebesaran. Rina mencoba menepis pikiran buruk, mungkin Fahri sedang dalam masa pertumbuhan pesat sehingga tubuhnya memanjang. Ia berusaha menambah porsi makan Fahri, menyiapkan camilan bergizi lebih sering, namun berat badan Fahri tidak kunjung bertambah secara signifikan. Bahkan, terkadang ia melihat Fahri kehilangan nafsu makan, padahal sebelumnya ia selalu lahap.
Kemudian, muncul gejala lain yang lebih mengkhawatirkan, yaitu diare yang berulang. Bukan diare biasa yang bisa sembuh dengan obat warung atau istirahat sebentar. Diare Fahri terjadi cukup sering, bahkan beberapa kali dalam seminggu, dan terkadang disertai dengan mual. Meskipun tidak terlalu parah, frekuensi dan durasi diare itu membuat Rina khawatir. Ia mencoba berbagai cara, mulai dari mengatur pola makan Fahri, memberinya probiotik, hingga berkonsultasi dengan tetangga yang kebetulan seorang bidan. Hasilnya nihil. Diare itu datang dan pergi, seperti bayangan yang terus mengikuti.
Rina mulai mengamati Fahri lebih cermat. Ia melihat Fahri yang biasanya ceria dan penuh energi, terkadang terlihat lesu dan mudah lelah. Mata Fahri terkadang sayu, tidak seberbinar biasanya. Fahri yang selalu bersemangat pergi sekolah dan bermain, kini seringkali ingin berdiam diri di rumah. Gejala-gejala kecil ini, yang terpisah-pisah, mulai terangkai menjadi satu pola yang mengkhawatirkan di benak Rina. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang lebih serius daripada sekadar infeksi pencernaan biasa atau fase pertumbuhan. Naluri keibuannya berteriak, memperingatkan bahwa Fahri mungkin sedang melawan sesuatu yang tidak terlihat.
Kecemasan yang dirasakan Rina bukanlah kecemasan biasa. Itu adalah kecemasan mendalam seorang ibu, yang merasakan perubahan sekecil apapun pada anaknya. Setiap malam, setelah Fahri tidur, Rina akan memandangi wajah polos putranya, mengelus dahinya, dan merasakan kehangatan tubuhnya. Ia merasakan dahi Fahri terkadang terasa hangat, meskipun termometer menunjukkan suhu normal. Ini adalah firasat, sebuah alarm internal yang berdering tanpa henti di dalam benaknya.
Naluri keibuan Rina bekerja dengan sangat kuat. Ia mulai mengaitkan semua gejala yang Fahri alami. Fahri yang biasanya tidak pernah pilih-pilih makanan, kini sering menolak beberapa jenis makanan. Ia mulai sering mengeluh sakit perut ringan yang hilang timbul, atau merasa tidak enak badan. Rina mulai memperhatikan detail-detail kecil: kulit Fahri yang terkadang terlihat pucat, lingkaran hitam tipis di bawah matanya, atau napasnya yang sesekali terdengar sedikit berat saat tidur.
Rina mencoba mencari penjelasan logis. Mungkin Fahri terlalu banyak bermain, atau mungkin ia sedang stres dengan tugas sekolah. Tapi, alasan-alasan itu terasa tidak meyakinkan. Setiap kali ia melihat Fahri batuk atau meringis kecil karena sakit perut, hatinya mencelos. Rasa takut mulai menyelimuti, sebuah ketakutan yang samar namun mencekam. Ia mencoba untuk tetap tenang di hadapan Fahri dan Faiz, tidak ingin mereka merasakan kekhawatirannya. Namun, di dalam hati, gelombang kecemasan terus bergejolak.
Ia mulai mencari informasi di internet secara diam-diam, membaca tentang berbagai penyakit yang gejalanya mirip dengan Fahri. Setiap hasil pencarian hanya menambah kecemasannya. Ia berdoa lebih sering, memohon kepada Tuhan agar Fahri baik-baik saja. Tidur Rina tidak lagi nyenyak; seringkali ia terbangun di tengah malam, memeriksa napas Fahri, memastikan putranya baik-baik saja. Firasat ini, meskipun tidak berwujud, terasa sangat nyata dan menguasai pikirannya. Rina tahu, ia tidak bisa lagi mengabaikan sinyal-sinyal yang dikirimkan tubuh Fahri. Sesuatu harus dilakukan.
Kecemasan yang menumpuk di benak Rina akhirnya mencapai puncaknya. Ia tahu ia harus membicarakannya dengan Satria, suaminya. Satria adalah sosok yang rasional dan tenang, dan Rina membutuhkan dukungan serta perspektifnya.
Suatu malam, setelah anak-anak tidur dan rumah sudah hening, Rina memulai percakapan. Ia memilih waktu yang tepat, di mana mereka bisa berbicara tanpa gangguan.
"Mas," panggil Rina pelan, saat Satria sedang membaca koran di ruang tamu.
Satria menurunkan korannya dan menatap Rina dengan senyum. "Ada apa, Sayang? Kok kelihatannya murung?"
Rina duduk di sampingnya, menghela napas panjang. "Aku… aku khawatir dengan Fahri, Mas."
Satria sedikit mengernyit. "Fahri? Kenapa Fahri? Perasaan dia baik-baik saja." Satria memang sibuk bekerja di kantor, sehingga mungkin tidak sedetail Rina dalam mengamati perubahan kecil pada anak-anak.