FAHRI, MALAIKAT KECIL KAMI YANG MENGARUNGI BADAI HISPRUNG

Mada Elliana
Chapter #4

Diagnosis dan Perjuangan Awal

Setelah serangkaian tes yang menegangkan di klinik Dokter Pambudi, ketakutan terbesar Rina dan Satria akhirnya terkonfirmasi. Hasil pemeriksaan darah dan tinja Fahri menunjukkan anomali yang signifikan, mendorong Dokter Pambudi untuk merujuk Fahri ke spesialis bedah anak terkemuka di Rumah Sakit Immanuel, Dokter Faisol. Nama "Hisprung" dan "operasi" mulai bergaung di benak mereka, seperti melodi menyeramkan yang tak bisa dihentikan, membawa serta gelombang kecemasan yang luar biasa.

Namun, di sisi lain, ada pula secercah harapan yang samar, harapan bahwa kali ini, mereka akan mendapatkan jawaban yang pasti, sebuah diagnosa yang akan membawa mereka pada langkah penyembuhan. Mereka lelah dengan ketidakpastian, lelah dengan firasat yang terus menghantui. Sebuah kepastian, bahkan jika itu adalah kabar buruk, terasa lebih baik daripada terus-menerus digantung dalam kegelapan.

Perjalanan menuju Rumah Sakit Immanuel diwarnai bisikan doa, helaan napas berat, dan tatapan kosong ke luar jendela. Mereka tahu bahwa begitu mereka melangkah masuk ke pintu rumah sakit itu, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi. Ini adalah gerbang menuju medan pertempuran baru, yang harus mereka hadapi demi putra tercinta. Ketika mereka tiba, skala kecemasan mereka seolah diperbesar oleh suasana rumah sakit yang begitu riuh namun menyimpan ribuan kisah.

Lorong-lorong yang panjang dan steril dipenuhi dengan hiruk pikuk pengunjung, perawat yang sibuk lalu-lalang, dan aroma khas rumah sakit yang kental. Ruang tunggu poliklinik anak, tempat mereka menunggu giliran, sangatlah ramai. Di sana, mereka melihat berbagai wajah-wajah pasien lain dan keluarganya. Ada bayi yang menangis tanpa henti, seorang anak balita dengan infus di tangannya, dan beberapa anak yang terlihat lesu duduk di pangkuan orang tuanya. Setiap wajah menyimpan kisahnya sendiri—kesedihan, ketakutan, kelelahan, namun juga secercah harapan.

Dokter Faisol menjelaskan diagnosis Hisprung, sebuah kondisi di mana sebagian usus besar tidak memiliki saraf yang berfungsi untuk mendorong feses, menyebabkan penumpukan dan masalah pencernaan yang serius.

Penjelasan Dokter Faisol, meskipun teknis, disampaikan dengan empati dan kesabaran, mencoba meredakan guncangan yang mereka rasakan. Ia menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kondisi ini adalah melalui operasi, di mana bagian usus yang rusak akan diangkat. Ini adalah kabar yang pahit, namun Rina dan Satria tahu mereka harus kuat demi Fahri. Mereka mendengarkan dengan seksama setiap detail prosedur, risiko, dan prospek pemulihan, mencoba menyerap setiap informasi yang bisa mereka dapatkan untuk mempersiapkan diri menghadapi badai di depan.

Senin, 3 April 2023, adalah hari yang akan terukir abadi dalam ingatan Rina dan Satria. Pagi itu, langit Bandar Lampung diselimuti mendung, seolah turut merasakan mendung di hati mereka. Mereka tiba di Rumah Sakit Immanuel sebelum subuh, saat lorong-lorong masih sepi dan udara dingin menusuk kulit. Suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih mencekam, seperti sebuah pintu yang akan mengantar mereka ke babak yang tak terduga.

Fahri, dengan piyama rumah sakit berwarna biru muda, duduk di kursi roda yang didorong Satria. Wajahnya yang biasanya ceria tampak sedikit tegang, namun ia berusaha tersenyum pada Rina. Perawat segera datang untuk melakukan persiapan operasi. Fahri harus berganti baju operasi, yang membuat Rina menahan napas. Piyama kecil itu terasa seperti kain kafan yang menyelimuti tubuh mungilnya. Selang infus mulai dipasang di tangan Fahri, dan obat penenang diberikan agar ia lebih rileks sebelum dibawa ke ruang operasi.

Di ruang tunggu pra-operasi, suasana hening yang tegang menyelimuti Rina dan Satria. Mereka mencoba untuk tetap tegar di hadapan Fahri, menyembunyikan ketakutan yang menggerogoti. Satria mencoba membuat suasana lebih ringan dengan bercerita atau bermain tebak-tebakan dengan Fahri selama menunggu.

Rina selalu berada di samping Fahri, memeluknya, dan mengelus rambutnya. Mereka berdua menjadi penyangga bagi Fahri, menyalurkan energi positif dan ketenangan. Ketabahan Fahri, meskipun menyakitkan untuk disaksikan, juga memberikan kekuatan pada Rina dan Satria. Mereka tahu bahwa jika Fahri bisa sekuat itu, maka mereka juga harus bisa.

Saatnya tiba. Perawat datang dengan brankar, meminta Fahri untuk berbaring. Jantung Rina dan Satria berdegup kencang, seolah akan melompat keluar dari dada mereka. Fahri, dengan wajah polosnya, menatap Rina dan Satria secara bergantian.

"Mama… Papa…" panggilnya pelan. Rina dan Satria mendekat, mencium pipi Fahri bergantian.

Lihat selengkapnya