Dua minggu telah berlalu sejak kunjungan pertama ke Dokter Pambudi. Rina dan Satria telah menjalankan semua saran dengan disiplin. Fahri minum obat diare dan vitamin penambah nafsu makan secara teratur. Rina menyiapkan makanan bergizi, menghindari segala jenis makanan yang mungkin menjadi pemicu alergi. Lingkungan rumah pun dijaga kebersihannya ekstra ketat. Namun, harapan yang sempat membuncah perlahan memudar, digantikan oleh kekhawatiran yang semakin memuncak.
Berat badan Fahri tak kunjung menunjukkan peningkatan signifikan. Bahkan, Rina merasa Fahri justru terlihat semakin kurus. Lingkaran hitam di bawah matanya tampak lebih jelas, dan kulitnya cenderung pucat. Pakaian-pakaiannya semakin melonggar, seolah tubuh Fahri menyusut di dalamnya. Fahri memang sesekali terlihat lebih berenergi setelah minum vitamin, namun keletihan itu akan kembali menyelimuti. Nafsu makannya pun masih sering hilang timbul. Ada hari-hari ketika ia makan dengan cukup baik, namun di hari lain ia hanya menyentuh makanannya sedikit saja.
Diare, meskipun tidak separah sebelumnya, masih sesekali datang. Bukan lagi diare yang parah dan cair, melainkan lebih sering berupa feses yang encer dan tidak berbentuk, dengan frekuensi yang lebih sering dari normal. Setiap kali Rina mengganti popok atau membersihkan Fahri setelah buang air besar, ia akan mengamati tekstur dan warnanya dengan cermat, berharap melihat tanda-tanda perbaikan, namun yang ditemukannya hanyalah kekecewaan.
Melihat kondisi Fahri yang tidak membaik sesuai perkiraan, hati Rina semakin teriris. Rasa takut dan keputusasaan mulai menguasai dirinya. Ia tak bisa lagi tidur nyenyak, selalu terbangun di tengah malam untuk memeriksa Fahri. Wajah polos putranya yang terlihat sedikit letih selalu menghantuinya. Ia bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan dirinya sebagai ibu? Apakah ia melewatkan sesuatu yang penting? Setiap tawa ceria Fahri yang kadang diselingi batuk kecil, atau energi bermainnya yang tiba-tiba menurun, menjadi jarum yang menusuk sanubarinya. Firasat yang dulu hanya bisikan, kini menjadi raungan di benaknya. Ia tahu, mereka tidak bisa lagi mengandalkan diagnosis sebelumnya. Ada sesuatu yang lebih dalam dan belum terpecahkan.
Setelah melewati dua minggu yang penuh kecemasan dan tanpa perbaikan berarti, Rina dan Satria sepakat. Mereka tidak bisa lagi menunda atau meremehkan. Mereka butuh pendapat kedua. Meskipun Dokter Pambudi adalah dokter yang baik dan reputasinya terpercaya, naluri Rina mengatakan ada hal lain yang harus mereka cari tahu.
Satria, yang melihat sendiri bagaimana kecemasan menggerogoti Rina dan bagaimana kondisi Fahri tak kunjung membaik, mendukung penuh keputusan ini. "Kita cari dokter lain, Sayang. Siapa tahu ada sudut pandang lain atau pemeriksaan yang lebih spesifik," kata Satria.
Mereka mulai mencari rekomendasi dokter spesialis anak lain, terutama yang memiliki keahlian dalam masalah pencernaan atau gizi pada anak. Nama Dokter Riona Sari muncul berkali-kali dalam pencarian mereka. Dokter Riona dikenal sebagai dokter anak yang sangat teliti, memiliki intuisi klinis yang kuat, dan tidak segan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut jika ada kecurigaan. Reputasinya sebagai dokter yang "tidak mudah menyerah" dan selalu mencari akar masalah menarik perhatian Rina dan Satria.
Satria segera menghubungi klinik Dokter Riona dan berhasil mendapatkan jadwal pemeriksaan untuk beberapa hari ke depan. Waktu menunggu itu terasa sangat panjang. Setiap hari, Rina mencatat dengan detail semua gejala Fahri: kapan diare terjadi, seberapa banyak ia makan, tingkat energinya, bahkan detail tentang tidur Fahri. Ia menyiapkan daftar pertanyaan panjang untuk Dokter Riona, tidak ingin ada hal kecil pun yang terlewat.
Ketika hari yang dinanti tiba, Rina dan Satria membawa Fahri ke klinik Dokter Riona dengan hati yang berat. Meskipun ada harapan baru, ada pula rasa takut yang mendalam. Mereka tahu, mencari pendapat kedua berarti mengakui bahwa ada kemungkinan buruk yang belum terdeteksi. Mereka hanya berharap, kali ini, jawaban yang mereka temukan akan lebih jelas, dan yang terpenting, akan membawa mereka menuju kesembuhan Fahri. Langkah kaki mereka memasuki klinik Dokter Riona adalah langkah menuju ketidakpastian, namun juga langkah yang penuh dengan tekad dan cinta seorang orang tua.
Klinik Dokter Riona Sari memiliki suasana yang berbeda dari klinik sebelumnya. Meskipun sama-sama ramah anak, ada ketenangan yang terasa lebih dalam, mungkin karena aura Dokter Riona sendiri. Ia memiliki tatapan mata yang hangat namun tajam, seolah bisa melihat lebih dari sekadar gejala fisik.
Dokter Riona menyambut Fahri dan orang tuanya dengan senyum lembut. Ia memulai dengan mendengarkan Rina menceritakan kronologi penyakit Fahri, mulai dari firasat awal, kunjungan ke Dokter Pambudi, hingga tidak adanya perbaikan signifikan. Rina tidak lupa menyebutkan hasil USG dan tes darah yang "normal" sebelumnya. Dokter Riona mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mencatat di buku rekam medisnya. Ia tidak menyela, memberikan ruang bagi Rina untuk menyampaikan semua kekhawatiran dan observasinya.
Setelah Rina selesai bercerita, Dokter Riona mulai memeriksa Fahri. Ia melakukannya dengan sangat teliti, jauh lebih detail dari pemeriksaan sebelumnya. Ia mengamati mata Fahri, kulitnya, rongga mulutnya, dan terutama perutnya. Dokter Riona meraba perut Fahri dengan sangat hati-hati, menekan beberapa titik dan mengamati respons Fahri. Ia juga memeriksa kondisi anus Fahri. Rina memperhatikan, Dokter Riona melakukannya beberapa kali, seolah mencari sesuatu yang tidak terlihat.
Kemudian, Dokter Riona bertanya lebih dalam tentang pola buang air besar Fahri sejak bayi. "Apakah sejak bayi Fahri sering mengalami sembelit, Bu? Atau diare yang bergantian dengan sembelit?" tanyanya. Rina berpikir keras. Ia ingat Fahri memang terkadang sulit buang air besar saat masih bayi, meskipun tidak terlalu sering. Ia menyampaikan hal itu kepada Dokter Riona.