Rujukan dari Dokter Riona untuk menemui dokter bedah anak adalah sebuah lonceng alarm yang memekakkan telinga bagi Rina dan Satria. Destinasi mereka berikutnya adalah Rumah Sakit Immanuel, sebuah rumah sakit besar yang terkenal memiliki fasilitas bedah anak yang mumpuni. Namun, perjalanan menuju rumah sakit itu terasa seperti menempuh jarak ribuan kilometer, bukan hanya puluhan menit.
Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Fahri, yang duduk di kursi belakang, sesekali melontarkan pertanyaan polos tentang tujuan mereka, "Kita mau ke mana, Mama? Mau ketemu dokter lagi?" Rina hanya bisa tersenyum getir, mencoba menutupi kegundahan hatinya. Ia menggenggam tangan Fahri, membelai punggung tangannya yang kecil, seolah menyalurkan seluruh kekuatan dan doanya. Satria fokus pada jalan, namun sesekali melirik spion, melihat Fahri dan Rina, gurat kekhawatiran jelas terlukis di wajahnya.
Perasaan mereka campur aduk. Ada kecemasan yang luar biasa, sebuah ketakutan akan hasil yang akan mereka dengar. Kata "Hisprung" dan "operasi" terus bergaung di benak mereka, seperti melodi menyeramkan yang tak bisa dihentikan. Namun, di sisi lain, ada pula secercah harapan yang samar. Harapan bahwa kali ini, mereka akan mendapatkan jawaban yang pasti, sebuah diagnosa yang akan membawa mereka pada langkah penyembuhan. Mereka lelah dengan ketidakpastian, lelah dengan firasat yang terus menghantui. Meskipun pahit, sebuah kepastian, bahkan jika itu adalah kabar buruk, terasa lebih baik daripada terus-menerus digantung dalam kegelapan.
Perjalanan itu diwarnai bisikan doa, helaan napas berat, dan tatapan kosong ke luar jendela. Mereka tahu bahwa begitu mereka melangkah masuk ke pintu Rumah Sakit Immanuel, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi. Ini adalah gerbang menuju medan pertempuran baru, yang harus mereka hadapi demi putra tercinta.
***
Ketika mereka tiba di Rumah Sakit Immanuel, skala kecemasan mereka seolah diperbesar oleh suasana di rumah sakit yang begitu riuh namun menyimpan ribuan kisah. Lorong-lorong yang panjang dan steril dipenuhi dengan hiruk pikuk pengunjung, perawat yang sibuk lalu-lalang, dan aroma khas rumah sakit yang kental. Ruang tunggu poliklinik anak, tempat mereka menunggu giliran, sangatlah ramai.
Di sana, mereka melihat berbagai wajah-wajah pasien lain dan keluarganya. Ada bayi yang menangis tanpa henti, seorang anak balita dengan infus di tangannya, dan beberapa anak yang terlihat lesu duduk di pangkuan orang tuanya. Setiap wajah menyimpan kisahnya sendiri—kesedihan, ketakutan, kelelahan, namun juga secercah harapan. Mereka melihat orang tua yang wajahnya menunjukkan kelelahan luar biasa, dengan kantung mata hitam dan tatapan kosong, mungkin telah berhari-hari mendampingi anaknya. Ada juga tawa lirih dari anak-anak yang mencoba bermain di sudut ruangan, mencoba melupakan rasa sakit mereka.
Rina dan Satria merasa menjadi bagian dari komunitas orang tua yang sedang berjuang ini. Melihat penderitaan anak-anak lain, mereka merasa kecil, namun juga memicu empati yang mendalam. Mereka menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi cobaan ini. Ada rasa solidaritas yang tak terucap di antara para orang tua yang berbagi nasib serupa.
Suasana itu, meskipun penuh keprihatinan, juga mengingatkan mereka tentang betapa berharganya setiap detik bersama Fahri. Mereka mengamati Fahri, yang seperti biasa, tetap tenang dan mengamati sekelilingnya dengan rasa ingin tahu. Ia tidak rewel, hanya sesekali mengeluh haus. Melihat kepolosan Fahri, hati Rina semakin teriris. Ia bertekad untuk menjadi dinding terkuat bagi Fahri, melindungi dan mendampinginya melewati semua ini. Setiap menit yang berlalu di ruang tunggu itu adalah persiapan mental bagi mereka untuk menghadapi apa pun yang akan dikatakan oleh dokter bedah anak.
***
Setelah penantian yang panjang, akhirnya nama Fahri dipanggil. Mereka masuk ke ruangan Dokter Faisol, seorang dokter bedah anak dengan perawakan tenang namun memiliki tatapan mata yang tegas dan meyakinkan. Ia adalah dokter yang direkomendasikan Dokter Riona, dikenal memiliki keahlian tinggi dalam kasus-kasus bedah pencernaan pada anak.
Dokter Faisol menyambut mereka dengan salam, kemudian langsung berfokus pada rekam medis dan hasil rontgen yang dibawa Rina dari Dokter Riona. Ia mempelajari lembaran film rontgen dengan saksama, sesekali memegang dagunya.
Setelah itu, ia beralih untuk memeriksa Fahri. Pemeriksaannya juga sangat teliti, serupa dengan Dokter Riona, namun dengan fokus yang lebih spesifik pada area perut dan anus. Ia meraba perut Fahri, memperhatikan responsnya, dan kemudian melakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan kondisi rektum Fahri. Rina dan Satria menahan napas, mencoba membaca ekspresi Dokter Faisol. Tidak ada yang terucap dari bibir sang dokter selama pemeriksaan, yang justru menambah ketegangan.
Setelah selesai memeriksa, Dokter Faisol duduk kembali di kursinya dan menatap Rina dan Satria dengan tenang. "Bapak dan Ibu," ia memulai, suaranya pelan namun jelas, "Dari hasil rontgen, riwayat gejala yang Ibu sampaikan, dan pemeriksaan fisik yang baru saja saya lakukan, kecurigaan Hisprung pada Ananda Fahri memang sangat kuat."