Senin, 3 April 2023, adalah hari yang akan terukir abadi dalam ingatan Rina dan Satria. Pagi itu, langit Jakarta diselimuti mendung, seolah turut merasakan mendung di hati mereka. Mereka tiba di Rumah Sakit Immanuel sebelum subuh, saat lorong-lorong masih sepi dan udara dingin menusuk kulit. Suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih mencekam, seperti sebuah pintu yang akan mengantar mereka ke babak yang tak terduga.
Fahri, dengan piyama rumah sakit berwarna biru muda, duduk di kursi roda yang didorong Satria. Wajahnya yang biasanya ceria tampak sedikit tegang, namun ia berusaha tersenyum pada Rina. Perawat segera datang untuk melakukan persiapan operasi. Fahri harus berganti baju operasi, yang membuat Rina menahan napas. Piyama kecil itu terasa begitu rentan di tubuh mungil Fahri.
Proses pemasangan infus adalah cobaan pertama. Meskipun perawat melakukannya dengan cekatan, Fahri tetap meringis kesakitan saat jarum menembus kulitnya. Rina menggenggam tangan Fahri erat, berbisik kata-kata penguatan, "Sabar ya, Nak. Sebentar lagi selesai. Fahri anak hebat." Satria berdiri di sampingnya, mengusap kepala Fahri, hatinya remuk melihat putranya menahan sakit.
Setelah infus terpasang, Fahri dibawa ke ruang persiapan operasi. Di sana, dokter anestesi menjelaskan prosedur bius. Mata Fahri memancarkan ketakutan, ia memeluk Rina erat, seolah tak ingin melepaskan. Rina sendiri merasakan air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha keras untuk tetap kuat di hadapan Fahri.
Sementara Fahri di rumah sakit, ada hati lain yang juga merasakan dampak berat dari semua ini: Faiz. Karena Fahri harus dirawat di rumah sakit, Faiz untuk sementara waktu harus ditinggal di rumah neneknya. Ia yang selalu lengket dengan kakaknya, kini harus tidur tanpa Fahri di sampingnya.
Setiap malam, Faiz akan bertanya, "Mama, Papa, Kak Fahri kapan pulang? Faiz kangen." Pertanyaan polos itu selalu menusuk hati Rina dan Satria. Mereka mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana bahwa Fahri sedang "berlibur" di tempat dokter, dan sebentar lagi akan pulang. Namun, mata Faiz yang polos tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia seringkali bermain sendiri di kamar, membayangkan Fahri bermain bersamanya.
Ketika Faiz diizinkan untuk datang menjenguk Fahri di rumah sakit, kecemasannya semakin terlihat. Ia melihat Fahri yang terbaring lemah di ranjang, dengan selang infus dan alat-alat medis lainnya. Mata Faiz membesar, menunjukkan kebingungan dan ketakutan. Ia mendekati ranjang Fahri dengan ragu, memanggil pelan, "Kak Fahri..."
Fahri, yang saat itu masih lemah, berusaha tersenyum pada adiknya. Namun, melihat Fahri yang begitu berbeda dari kakaknya yang aktif dan ceria, Faiz tidak bisa menahan tangisnya. Ia memeluk kaki Rina, teRinak-isak. "Kak Fahri sakit apa, Ma?" tanyanya di sela-sela isak tangis. Rina harus menjelaskan lagi, mencoba menenangkan Faiz bahwa Fahri akan segera sembuh. Momen itu adalah gambaran betapa dampak penyakit ini tidak hanya menimpa Fahri, tetapi juga menyentuh hati seluruh anggota keluarga, terutama adiknya yang masih kecil.
Di tengah persiapan operasi yang menegangkan, terjadi sebuah dialog yang menggetarkan hati Rina dan Satria. Fahri, yang biasanya selalu tegar dan tak pernah mengeluh, menatap Satria dengan mata berkaca-kaca.
"Yah," panggil Fahri pelan, suaranya nyaris berbisik.
Satria membungkuk, mendekatkan wajahnya. "Ada apa, Nak?"
Dengan suara bergetar dan air mata yang mulai menetes, Fahri berucap, "Maaf ya Yah, Mas sudah gagal jadi anak hebat."
Kata-kata itu menghantam Satria seperti petir. Ia tidak menyangka Fahri akan mengatakan hal seperti itu. Air mata langsung menggenang di mata Satria. Ia memeluk Fahri erat, mencoba menahan emosinya. "Tidak, Nak. Kamu tidak pernah gagal. Kamu anak yang sangat hebat," bisiknya di telinga Fahri.
Rina, yang mendengar itu, ikut teRinak. Ia menyadari betapa berat beban yang dipikul Fahri selama ini, meskipun ia selalu berusaha menyembunyikannya. Fahri, di balik kepintaran dan kematangannya, adalah anak kecil yang juga merasa takut, yang mungkin menyalahkan dirinya atas penyakit ini. Ia berpikir bahwa penyakitnya adalah "kegagalan" karena ia tidak bisa menjadi anak yang selalu kuat dan sempurna.
Mendengar kalimat Fahri, perasaan Satria porak-poranda. Hatinya hancur berkeping-keping. Selama ini, ia selalu melihat Fahri sebagai anak yang kuat, tegar, dan selalu tersenyum. Ia tidak menyangka bahwa di balik itu, Fahri menyimpan rasa bersalah dan ketakutan yang begitu dalam. Pukulan emosional ini jauh lebih sakit daripada kekhawatiran akan operasi itu sendiri.
Namun, sebagai seorang ayah, Satria tahu ia tidak bisa runtuh di hadapan putranya. Ia harus berusaha untuk tetap kuat, menjadi pilar bagi Rina dan Fahri. Ia memeluk Fahri lebih erat, mencoba menyalurkan semua cintanya.
"Dengar Ayah, Nak," kata Satria, suaranya sedikit bergetar namun tegas. "Fahri itu anak hebat. Kamu sangat hebat. Kamu sakit itu bukan salah kamu, itu bukan kegagalan. Ini ujian dari Allah, dan kita akan melewatinya bersama-sama. Kamu itu jagoan Ayah, jagoan Mama. Kamu tidak perlu minta maaf. Kamu adalah anak paling hebat yang Ayah dan Mama punya."
Satria mencoba menatap mata Fahri, memberikan senyum paling tulus yang ia bisa berikan. Ia tahu bahwa kata-kata itu penting untuk menghapus keraguan di hati Fahri. Ia mengusap air mata Fahri, dan berusaha menenangkan Rina. Di dalam hati, Satria berjanji untuk tidak pernah menunjukkan kelemahannya di hadapan Fahri, agar Fahri selalu merasa aman dan kuat. Ia adalah benteng pertahanan terakhir, yang harus berdiri tegak meski badai menerjang.