FAHRI, MALAIKAT KECIL KAMI YANG MENGARUNGI BADAI HISPRUNG

Mada Elliana
Chapter #10

Jumat Terakhir

Pagi itu, Jumat yang diyakini akan menjadi hari kembalinya Fahri ke pelukan rumah setelah operasi kedua, menyapa dengan cara yang aneh. Matahari, yang biasanya cerah menyinari jendela kamar Fahri, pagi itu bersembunyi di balik awan tebal, menyisakan cahaya temaram yang terasa kelabu. Udara di rumah sedikit lebih dingin dari biasanya, meskipun pendingin ruangan tidak menyala. Aroma kopi pagi Satria yang biasanya membangkitkan semangat, kini terasa hambar, bercampur dengan aroma samar antiseptik yang seolah masih melekat dari kunjungan rumah sakit kemarin.

Rina terbangun sebelum alarm berbunyi, dengan perasaan tidak tenang yang menusuk. Ia menoleh ke samping, melihat Fahri tidur pulas di ranjangnya, namun napasnya terasa sedikit berat. Ia mengelus kening Fahri, yang terasa hangat. Tidak ada demam tinggi seperti di rumah sakit, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada keheningan yang lebih dalam, seolah waktu bergerak lebih lambat, dan setiap suara di luar terasa diredam. Suara burung berkicau yang biasanya riang, pagi itu terdengar sendu. Bahkan, saat Rina mencoba memasak sarapan, suara wajan yang beradu pun terdengar ganjil, seolah ada gema yang tidak seharusnya. Ini adalah pagi yang sama, di rumah yang sama, namun dengan vibrasi yang berbeda, sebuah prasangka yang tak terucap.

Meskipun Rina dan Satria diselimuti kegelisahan, Fahri justru menunjukkan secercah keceriaan terakhir yang akan selalu mereka kenang. Pagi itu, entah mengapa, Fahri meminta untuk bermain dengan Faiz di ruang keluarga, bukan di kamarnya. Faiz, yang biasanya langsung menempel pada kakaknya, kali ini terlihat lebih bersemangat. Mereka berdua duduk di karpet, memainkan mobil-mobilan kecil yang sudah lusuh.

"Faiz, ayo balapan!" seru Fahri, suaranya sedikit serak tapi penuh semangat. "Siapa yang duluan sampai garis finis, dia yang menang!"

Faiz tertawa renyah, menggerakkan mobilnya. "Faiz pasti menang, Kak Fahri!"

Mereka berlomba, mobil-mobilan itu berderak di atas karpet. Fahri, yang biasanya sangat serius dalam bermain, sesekali melirik Faiz dan tersenyum lebar. Ada beberapa kali ia batuk, tapi ia segera mengabaikannya, fokus pada permainannya.

Dialog terakhir mereka pun sederhana, namun kini terasa begitu bermakna.

"Faiz," kata Fahri tiba-tiba, setelah mereka berhenti bermain. "Faiz janji ya, kalau Kak Fahri sudah sembuh, kita main bola di lapangan. Faiz harus jadi jagoan Ayah sama Mama."

Faiz mengangguk mantap, polos. "Iya, Kak Fahri. Faiz janji. Nanti Kak Fahri yang ajari Faiz tendang bola yang kencang!"

Tawa terakhir Fahri pun pecah saat Faiz, karena terlalu bersemangat, menabrakkan mobilnya ke dinding, membuat Rina dan Satria yang mengamati dari jauh tersenyum getir. Tawa itu, meskipun sedikit lemah, adalah tawa yang tulus, tawa yang penuh kebahagiaan anak-anak. Rina merekam momen itu dalam hatinya, tanpa menyadari bahwa itu adalah keceriaan terakhir yang akan ia lihat dari putra sulungnya.

Waktu terus berjalan, dan tibalah momen bagi Satria untuk bersiap menunaikan Sholat Jumat. Bagi Satria, Sholat Jumat adalah kewajiban yang tidak pernah ia lewatkan. Namun pagi itu, langkahnya terasa berat. Ia melihat Fahri yang masih bermain dengan Faiz, meskipun napasnya terlihat semakin memburu. Ada kegelisahan yang menyayat hati Satria.

Ketika Satria sudah memakai baju koko dan pecinya, ia menghampiri Fahri. "Nak, Ayah mau Sholat Jumat dulu ya. Fahri main sama Mama dan Faiz di rumah."

Fahri mendongak, matanya yang biasanya cerah kini terlihat agak cekung. Ia meraih tangan Satria, menggenggamnya erat. Sentuhannya terasa berbeda, lebih lemah, dan lebih dingin dari biasanya. Ada semacam tarikan yang tak terlihat dari tangan Fahri, seolah ia tidak ingin Satria pergi.

"Ayah... jangan lama-lama ya," bisik Fahri, suaranya pelan dan lemah.

Satria merasakan jantungnya mencelos. Ia membungkuk, mencium kening Fahri. Dahi Fahri terasa hangat, namun tangannya dingin. Tatapan mata Fahri juga berbeda, ada kesedihan dan ketakutan yang tersirat, seolah ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui Satria.

Satria berusaha mengusir firasat buruk itu. "Iya, Nak. Sebentar saja. Fahri doa ya, semoga Ayah lancar sholatnya, dan Fahri cepat sembuh."

Ia berbalik, melangkah keluar, namun setiap langkah terasa berat. Ia terus menoleh ke belakang, melihat Fahri yang masih menatapnya dari ambang pintu. Ada desakan kuat dalam dirinya untuk tidak pergi, untuk tetap di samping putranya. Namun, kewajiban memanggil, dan ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanya kecemasan sesaat. Ia tidak tahu bahwa sentuhan tangan Fahri itu adalah sentuhan perpisahan, dan tatapan mata itu adalah tatapan terakhir yang akan ia lihat dari putranya.

Setelah Satria berangkat, kegelisahan Rina semakin memuncak. Fahri, yang biasanya tidak rewel saat Satria Sholat Jumat, pagi itu terus-menerus menanyakan ayahnya.

Lihat selengkapnya