Keheningan yang mengikuti adzan kepulangan Fahri terasa begitu tebal, menyesakkan. Bagi Rina dan Satria, waktu seolah berhenti berputar pada detik terakhir napas Fahri. Perasaan pertama yang menghantam adalah syok.
Otak mereka menolak untuk memproses kenyataan. Bagaimana mungkin? Baru saja mereka berjuang, baru saja mereka merencanakan operasi kedua, dan kini Fahri telah tiada. Ini terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.
Kosong. Sebuah hampa yang menganga tiba-tiba mengisi seluruh ruang di dada mereka. Ada lubang besar yang tak bisa diisi. Rina merasakan seolah sebagian jiwanya ikut pergi bersama Fahri.
Tangannya yang tadi memeluk erat tubuh Fahri, kini terasa hampa dan dingin. Satria merasakan kekuatan di kakinya menghilang, ia terduduk lemas di samping Rina, masih mendekap tubuh Fahri yang tak bernyawa. Mereka saling pandang, mata mereka kosong, tak ada lagi air mata yang bisa keluar.
Tak percaya. Kata-kata "Fahri sudah tiada" berputar-putar di kepala mereka, namun gagal menembus dinding pertahanan terakhir akal sehat. Bagaimana bisa anak sepintar dan sebaik Fahri pergi secepat ini? Mereka terus-menerus bertanya-tanya, apakah mereka telah melakukan yang terbaik? Apakah ada yang terlewat?
Rasa bersalah yang menusuk mulai merayap di sudut hati, sebuah bisikan kejam yang menyalahkan diri sendiri. Rumah yang tadi pagi masih diwarnai tawa Fahri dan Faiz, kini hanya ada keheningan yang mematikan, yang menelan mereka dalam duka yang tak terbayangkan.
Kabar kepergian Fahri menyebar dengan cepat, menghantam anggota keluarga lainnya seperti gelombang tsunami.
Faiz, yang masih terlalu kecil untuk memahami makna kematian, awalnya hanya terlihat bingung. Ia melihat Mama dan Papanya menangis tersedu-sedu, dan Kak Fahri yang terbaring kaku di pangkuan Ayah. "Mama, Kak Fahri kenapa?" tanyanya polos, matanya berkaca-kaca melihat kesedihan orang tuanya.
Ketika Rina berusaha menjelaskan bahwa "Kak Fahri sudah pergi ke surga, Nak, sudah tidak sakit lagi," Faiz hanya menunduk, air matanya menetes pelan. Ia tidak mengerti mengapa Kak Fahri tidak bangun lagi, mengapa Kak Fahri tidak lagi tersenyum padanya. Kehilangan itu terasa sangat nyata baginya, meskipun ia belum sepenuhnya memahami konsep perpisahan abadi. Ia kehilangan teman bermain dan pelindungnya.
Kedatangan kakek dan nenek Fahri adalah ledakan duka yang lain. Nenek, yang selalu memuja Fahri sebagai cucu kesayangan, langsung ambruk, meraung-raung memanggil nama Fahri. Kakek, dengan wajah yang menua dan berkerut, mencoba menahan air matanya, namun bahunya bergetar hebat. Mereka tidak bisa membayangkan betapa beratnya cobaan ini bagi Rina dan Satria, kehilangan putra sulung mereka.
Paman dan bibi juga datang dengan wajah-wajah sembab. Mereka mencoba menenangkan Rina dan Satria, memeluk mereka erat, namun air mata mereka sendiri tak tertahankan. Rumah yang tadinya sunyi karena duka Rina dan Satria, kini dipenuhi tangisan dan isak pilu dari seluruh keluarga besar.
Setiap orang punya kenangan manis dengan Fahri, dan kini kenangan itu menjadi pisau yang mengiris hati. Atmosfer rumah terasa begitu berat, dipenuhi aura kesedihan yang mencekam.
Setelah badai tangisan awal sedikit mereda, yang tersisa adalah suasana rumah yang tiba-tiba sunyi. Keheningan yang sangat berbeda dari keheningan normal. Ini adalah keheningan yang dipenuhi oleh kekosongan, ketiadaan suara Fahri yang biasanya mengisi setiap sudut.
Tidak ada lagi suara derap langkah kecil Fahri yang berlarian. Tidak ada lagi suara Fahri berceloteh tentang pelajaran sekolah atau penemuan barunya. Tidak ada lagi tawa renyahnya saat bermain dengan Faiz. Bahkan, suara Faiz pun menjadi lebih pelan dan sendu.