Kepergian Fahri meninggalkan kekosongan yang begitu besar, bukan hanya di rumah mereka, tetapi juga di setiap aspek kehidupan Rina dan Satria. Duka itu bukanlah sekadar kesedihan yang bisa diobati dengan waktu. Ia adalah luka yang tak kasat mata, menggerogoti dari dalam, mengubah setiap rutinitas dan memengaruhi setiap interaksi.
Duka yang mendalam memengaruhi Rina dan Satria secara fisik dan mental, merampas energi dan semangat mereka.
Tidur menjadi kemewahan yang sulit diraih. Setiap malam, Rina akan terbangun beberapa kali, merasa Fahri memanggilnya, atau ia terbangun karena mimpi buruk tentang ruang PICU atau detik-detik terakhir napas Fahri. Matanya selalu sembab dan ada lingkaran hitam di bawahnya. Satria pun serupa. Ia seringkali mendapati dirinya menatap langit-langit kamar hingga dini hari, pikiran melayang pada kenangan Fahri. Jika pun tertidur, tidur mereka tidak pernah nyenyak, selalu gelisah dan penuh kecemasan.
Makan pun menjadi tugas yang berat. Rasa lapar seolah hilang. Makanan terasa hambar, tidak ada nafsu untuk mengunyah atau menelan. Rina seringkali hanya bisa makan sedikit, atau bahkan melewatkan makan sama sekali. Satria mencoba untuk mengingatkan Rina agar makan, namun ia sendiri juga sering lupa. Berat badan mereka berdua perlahan menurun, dan stamina mereka terkuras habis. Tubuh mereka seolah ikut berduka, menolak asupan yang diperlukan untuk bertahan.
Dalam hal bekerja, produktivitas Satria menurun drastis. Konsentrasinya buyar, pikirannya seringkali melayang pada Fahri. Ia sering melamun di kantor, menatap kosong ke layar komputer. Rekan kerjanya memahami kondisinya, memberikan dukungan dan keringanan. Rina pun, yang biasanya aktif di rumah, kini merasa hampa. Rutinitas mengurus rumah dan Faiz terasa seperti robotik, tanpa jiwa. Dapur yang dulu sering menjadi saksi bisu Rina menyiapkan makanan kesukaan Fahri, kini terasa dingin dan sepi. Setiap sudut rumah adalah pengingat akan ketiadaan Fahri, membuat setiap tugas harian menjadi pengingat yang menyakitkan.
Kehilangan seorang anak adalah ujian terberat bagi sebuah pernikahan. Bagi Rina dan Satria, duka ini memiliki dampak yang kompleks pada hubungan suami-istri mereka.
Awalnya, duka itu membuat mereka saling menguatkan. Mereka berpelukan lebih sering, berbagi air mata dalam diam. Satria akan membelai rambut Rina saat ia menangis, dan Rina akan menggenggam tangan Satria erat saat ia terlihat putus asa. Mereka adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahami kedalaman duka masing-masing. Mereka berbicara tentang Fahri, berbagi kenangan manis, dan mencoba mencari kekuatan dari satu sama lain. Ada solidaritas yang kuat terbentuk dari rasa sakit yang sama.
Namun, di sisi lain, ada pula potensi menjauhnya jarak secara emosional. Setiap orang berduka dengan caranya sendiri. Rina cenderung lebih ekspresif dalam kesedihannya, seringkali menangis dan ingin berbicara tentang Fahri. Sementara Satria, sebagai seorang pria, cenderung lebih memendam perasaannya, berusaha terlihat kuat, dan fokus pada tanggung jawab. Terkadang, perbedaan cara berduka ini bisa menimbulkan kesalahpahaman. Rina mungkin merasa Satria tidak cukup bersedih, atau Satria merasa Rina terlalu larut. Komunikasi yang tidak terucap bisa menciptakan jarak. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai cara berduka masing-masing, dan mengingatkan diri bahwa meskipun cara mereka berbeda, rasa cinta dan kehilangan itu sama besarnya. Keterbukaan dan kesabaran menjadi kunci untuk menjaga hubungan mereka tetap utuh di tengah badai ini.