Faiq, sang Konseptor B.A.H.A.G.I.A.

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #2

Bab 1 - Selamat Datang, Semangat Berbahagia!

Datanglah kepada yang membuka pintu.

Ketuklah mereka yang menutup rapat pintu.

Dan terangilah bagi siapa pun yang menggelapkan rumahnya.

AKU belum lahir ketika sekolah ini dibangun. Madrasah ini seumuran dengan kakak sulungku. Usiaku sendiri sekarang 13 tahun. Kelas satu atau VII sekolah menengah pertama. Yang pastinya sudah bisa menonton film Warkop Prambors - DKI dari 34 serinya. Mengingat batasan menikmati filmfilm legendaris itu 13 tahun ke atas. Sudah mendekati akhil baliq. Sudah mulai merasakan puberitas. Mulai ada sirsiran dan ketertarikan dengan lawan jenis. Bahkan kalau tiada tersalurkan atau takterkontrol bisa penasaran mencari film dewasa. Karena di sekolah hanya mengajarkan dosadosanya saja, nol cara mengatasi penasaran itu.

Abi berharap dengan menyekolahkan anak ketiganya dari istri pertamanya itu di MTs milik salah seorang koleganya, adalah agar pondasi atau akar keimanan dan ketakwaan keturunannya kokoh. Kuat dan tiada retak apalagi roboh dimakan zaman. Menyelami kemajuan teknologi, informasi, dan perkembangan dunia yang lebih modern dalam segala hal. Yang memunculkan banyak budaya baru. Salah satunya: budaya gengsi. Gengsi disebut kuno, diperlakukan layaknya orang udik, dianggap terbelakang, dan pragmatis. Itulah pemikirannya kenapa lebih senang menyekolahkan anakanaknya bukan ke sekolah umum. Syukursyukur dengan dididik di bawah kedisiplinan madrasah keturunannya bisa jadi pemimpin ummat.

Akulah anak ketiganya itu. Anak lakilaki terbesar di rumahku. Di rumah pertamanya. Ya, sejak Abi menikah lagi, ia memiliki tiga rumah. Satu, di rumah kami, di istana yang ia bangun atas keringatnya sendiri bekerja dan menabung sedari muda—ketika masih zaman gelap mata dan buta hati, katanya—di damai dan hijaunya kaki Gunung Salak. Di kota Bogor yang jadi tanah kelahiran dan dirinya menikmati masa pertaubatan. Dua, di rumah istri keduanya, seorang janda 3 anak yang berstatus istri sahabat lamanya di daerah Buah Batu kota Bandung. Dan terakhir, rumah penengah dan penenangnya di kaki Gunung Ciremai.

Hari ini, aku tengah mengalami kemandekan dan kemalasan bersekolah. Sudah tiada peduli lagi dengan harapan besar kedua orangtua membiayai mahal anaknya belajar di salah satu sekolah cukup bonafid di Kota Hujan ini. Sudah lupa keinginan melanjutkan jejak ayahanda sebagai pengajar dan ulama terpandang. Ini malah jiwa pemberontak seorang anak mantan preman yang akhirakhir ini menguasai tubuhku. Setiap saat takbosan-bosan menutup akal sehatku untuk berbuat menentang peraturan dan ketertiban. Bolos, kabur, dan berkelahi.

Ummi berkalikali pula dipanggil ke sekolahku menemui wakil kepala sekolah dan atau guru bagian bimbingan dan konseling, baik melalui surat resmi maupun langsung lewat telepon, tergantung berat atau ringan kasusku. Hari ini, Ummi ditemani kakak sulungku yang sengaja izin kerja kembali duduk di ruang wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, dan lagi pasti membahas kasus terbaruku. Kemarin, sepulang sekolah, aku baru saja membocorkan ban sepeda motor dan kepala anak SMA yang taksopan melintas rusuh di jalanan sekolahku. Karena ulahku itu, sekolah terpaksa membiayai seluruh perawatan si korban keganasanku.

Ibu Hj. Rosmala Dewi, S.Pd.I., S.H., M.Pd., wakil kepala sekolah bagian kesiswaan menyambut hangat Ummi dan Teh Ruri bertamu di ruangannya yang serbahijau—ada hijau muda, tua, toska, hijau lumut, dan hijau daun—dan sengaja mengirimku ke ruang yang di sekolah umum dianggap ‘menakutkan’. Karena dianggap ruang bagi anakanak nakal atau yang bermasalah untuk diberikan bimbingan secara psikologi. Ruang B & K. Ini menjadi yang ketujuh aku berada di ruangan serbawarna biru menenangkan mata. Aku sendiri merasa betah di sini.

Lihat selengkapnya