Faiq, sang Konseptor B.A.H.A.G.I.A.

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #3

Bab 2 - Kembang Tidur

BARU saja kesadaranku tergugahkan. Aku terbangunkan lagi. Hidup kembali. Merasakan dengan sadar bernapas, berbicara, berpikir, dan berperasaan. Oh, aku masih manusia. Sering kudengar cerita ada orang yang ketika terbangun dari kematian sesaatnya, tidurnya, malah menemukan rupanya di cermin bukan lagi dirinya, tetapi menyerupai hewan atau iblis. Ah, sungguh menyeramkan. Dari mana mereka mendapat kisahkisah mistik semacam itu. Aku memang penggemar cerita atau dongeng horor. Namun, aku menolak jika cerita tersebut nyata.

Alhamdulillah, masih manusia. Diberi pikiran dan napsu. Masih sangat malu jika berangkat ke sekolah takmemakai pakaian. Biarpun aku disebut masih bau kencur. Anakanak. Remaja tanggung. Ababil, ABG labil. Tapi aku sudah ingin disebut lakilaki yang belajar dewasa. Meninggalkan sifat kekanakkanakan. Karena itulah aku lebih nyaman dan senang bergaul dengan orangorang yang lebih tua, atau di sekitar rumahku disebut anak bujangan. Dari merekalah aku menemukan pelbagai cara menjadi manusia, dan pun kisahkisah yang gaib atau supranatural, serta kutemukan kesenangan membahas soal lawan jenis. Namun, sekarang, kutemukan kesenangan baru, nongkrong seru di ruang B & K.

Bu Wendita Nilasari, S.Pd., M.Si. adalah alasan kenapa aku betah duduk membaca buku, menggambar di sketchbook, berdiskusi atau minum teh bersama sang tuan rumah. Aku bagai memiliki rumah dan teman baru. Bu Wendita telah membahagiakanku. Menyuruhku menyediakan sekelas ruang di hatiku cukup luas untuknya. Aku benarbenar jatuh cinta. Kepada guru muda yang baik hati, santun, penyabar, dan penyayang. Tapi, aku sayang kepadanya bukanlah sebangsa cinta monyet. Bukanlah aku terpikat hati kepadanya sebagaimana Romeo kepada Juliet, Rama kepada Shinta, Rangga kepada Cinta, Lupus kepada Poppi, Majnun kepada Laila, Julius Caesar kepada Ratu Cleopatra, atau Napoleon Bonaparte kepada Josephine. Lebih tepatnya seperti anak kepada ibunya atau mungkin bibinya.

Hari ini, istirahat kedua kegiatan belajar mengajar di sekolahku, aku tidak lagi mencari keisengan rutin: membuat nangis anak perempuan atau petantang dan petenteng di koridor kelaskelas hingga ke kawasan kantin sekolah, mencari selah untuk ribut, dan kemudian berkelahi dengan kakak kelas yang sok jago. Hebatlah Bu Wendita membuatku ada pelarian yang positif. Untuk melupakan hasratku mengetes jurusjurus baru Karate, Beksi, dan Tarung Derajat yang sejak kecil dilatihkan temanteman abiku kepada siapa saja yang berani di sekolahan.

Sayangnya, aku sendirian di sini. Meski sebenarnya bertiga dengan dua staf Bu Wendita, tapi bagiku aku seorang diri. Kedua staf itu belum memberiku apaapa yang membuatku nyaman dan asyik. Mereka cenderung kaku, ramai jika ada inangnya, dan jika takada bersikap mainstrim pejabat sekolahan lainnya: bicara seperlunya dan menganggapku hanyalah anak kecil—bukan seorang teman.

“Maul, mau minum teh? Ceu Ida mau buat nih,” tawar salah seorangnya.

Sebagai staf bimbingan dan konseling sekolah memang seharusnya mereka berdua peka terhadap sikap, mimik, pembawaan, dan keperibadian siapa saja yang berada di ruangan ini. Termasuk memahami kedatanganku, ekspresi wajahku yang kehilangan akar tempatku bergantung, geliat gerakgerikku yang gelisah karena takada keteduhan rindang pohon di sini, dan bagaimana aku bisa nyaman duduk di kursi tamu ruang B & K hingga jam istirahat selesai. Tawaran minuman ini bisa jadi sebagai salah satu caranya memahamiku. Apa salahnya aku mengiyakannya.

Kusenyumi Bu Wantini, staf B & K paling senior—lebih tua 10 tahun dari Bu Wendita—, menandakan aku mau dibuatkan teh manis juga. “Boleh, Bu, tapi yang gelas kecil saja. Saya takut keburu bunyi bel masuk sebelum tehnya habis.”

“Mau yah?!” tanyanya menegaskan. Aku mengangguk. Kuberi senyuman kecil juga. Lantas ia berbalik perhatian penuh antusias dan kesantunan kepada Ceu Ida—staf paling muda di sini—untuk memberi kode. Segera membuatkan tiga gelas kecil teh manis di dapur mini ruang kerja mereka. Posisinya paling ujung. Kulihat mereka berdua seperti orang yang berbeda. Apa itu sikap asli mereka sebenarnya yang selama ini tertutup sikap malaikat Bu Wendita? Atau karena aku belum sama sekali berinteraksi langsung dengan mereka selama ini?

“Bu Wan, Ibu ke mana sih sebenarnya?” Aku bertanya kepada Bu Wantini cukup serius, dengan nada kurang bergairah, dan pasti malas masuk kelas lagi.

Dia meninggalkan meja kerjanya. Mengelap kacamatanya. Lalu sigap mengenakan kembali sepasang lensa minus bergagang warna emasnya. Tenang sekali pembawaannya mendekati tempat dudukku. Aku berharap besar padanya.

“Maul, Ibu rasa kamu … kita minum teh dulu, baru nanti kita—”

Aku takmau lagi diputarputar jawabannya atas satu pertanyaanku itu. Kok tibatiba Bu Wendita tiada kabar sama sekali. Hanya tidak masuk. Ada urusan keluarga. Apa maksudnya seorang guru penuh dedikasi dan antusias mengajar lagi mendidik ini tibatiba hilang kabar? Kemarin baru saja bilang di tempat ini, hari ini, akan membahas diskusi kami yang tertunda. Aku menagih janjinya. Jangan heran bila aku langsung memotong jawaban bermisi menenangkan kekecewaanku. Memang itu kurang beretika. Terlebih kepada orang tua dan bagian pendidikku.

“Tehnya, Bu, Maul, silakan biar seger!” Untunglah Ceu Ida sudah ceria membawakan kami teh tubruk memakai gula Tropicana Slim. Setidaknya ulah ketidaksopananku bisa teralihkan. Aku sadar aku salah. Tapi takkan mau peduli.

“Ayo, Nak, tehnya! Mumpung masih hangat!” ajak Bu Wantini konsisten.

Lihat selengkapnya