Faiq, sang Konseptor B.A.H.A.G.I.A.

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #4

Bab 3 - Kenapa Aku Manusia?

Bahagia datang dan pergi bukan karena pilih kasih.

Dia atau mereka memiliki jodohnya masingmasing.

Tiada bisa hidup seandainya ditekan atau dipaksakan.

Bahagia datang dan pergi karena perintah pemiliknya.

Dialah yang takhanya menciptakan bahagia, tapi juga hidup manusia.

PURNAMA sempurna telah tiba. Pertengahan bulan yang dinantikan. Harusnya aku belajar puasa pertengahan bulan Qomariyah atau kalender Islam ini. Abi, Ummi, dan kedua kakakku terbiasa merutinkan puasa tiga hari berturutturut pada setiap pertengahan bulan tersebut. Harusnya sebelum subuh nanti aku ikut bersama mereka makan sahur dan malam ini berniat berpuasanya. Sayangnya, peristiwa apa tragedi seminggu kemarin di depan sekolahkulah penyebab utama yang harus membatalkannya. Tawuran takseimbang itu mengganggu jiwaku.

Inilah malam yang kucoba dinantikan olehku. Malam yang dianggap Abi pelajaran berbasis hukuman. Punishment mencoreng nama baik dan besar Abi atas insiden penyeranganku kepada si anak SMA bandel yang kubocorkan kepalanya. Tapi bagiku, ini sebuah pembuktian bahwa aku masih layak disebut anak Abi.

Seberat atau semenyeramkan apa tragedi itu, yang kusaksikan langsung di depan mata kepalaku sendiri dan oleh Abi yang mencoba sempurna meninggalkan sisi gelap masa lalunya—kekerasan, kekejaman, dan darah berceceran? Jika hanya melihat tawuran anakanak sekolah, baik langsung atau di televisi, itu sudah biasa bagiku. Tapi jika di sana ada seseorang yang sangat kita cintai, sayangi, hormati, juga segani menjadi korban tindak kemunduran pemikiran manusia berakal itu bagaimana? Marah? Sedih? Atau hanya diam mematung? Aku memilih yang ketiga. Aku memang tidak bisa berbuat apaapa. Ketidakadilan terjadi dari pihak mereka, kawanan SMA bersepeda motor menyerbu anakanak MTs takbersenjata.

Bukan hanya aku. Abi pun diam membisu. Suasana di depan mata kami terlalu sembrawut dan kurang kondusif untuk menghentikan adegan berbahaya. Orangorang sepagi itu yang hendak beraktivitas sulit juga untuk ikut campur. Memilih acuh takacuh lebih baik daripada menjadi korban lemparan batu, tebasan samurai, bacokan arit, atau pukulan besi yang bebas merusak kendaraan seperti kaca mobil, spion, atau sepeda motor yang dijatuhkan oleh tendangan keras kaki. Kurasa kemarin Abi dilema. Ingin menghabisi anakanak pengacau itu dengan sisasisa kekuatan masa mudanya, tapi sepertinya kurang mendidik di mataku.

Dia memilih memerhatikan saja. Asalkan tidak sampai menjatuhkan korban yang keluar setetes saja darah dari tubuhnya. Yang akubaca mereka hanya menakutnakuti kami, mengancam, dan meneror anakanak sekolah kami yang salah seorangnya telah membuat teman mereka bocor kepalanya dan dirawat di rumah sakit selama dua hari. Selain itu, beberapa di antara mereka pun terkena razia dan penggerebekan narkoba dan miras, baik sebagai pengedar maupun pemakai. Dari teriakanteriakan merekalah aku tahu siapa merekamereka itu.

“Kita kasih waktu sampai minggu depan, dan kalau kalian tidak kasih tahu nama yang membuat sahabat kita masuk rumah sakit, sekolah ini bisa kita bakar!”

“Ingat yah kalian ini masih anak bocah, anak SMP!”

Bocorin saja kepala anak-anak ini, Bray, sebelum polisi datang!”

Baru kali ini jantungku berdetak lebih kencang. Kurasakan seperti mau coplok. Akulah yang mereka cari. Hatiku dilanda ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran yang mendalam. Nyaliku menjadi ciut. Abiku yang mantan preman dan hingga kini namanya masih harum dalam urusan menghantam orang lain yang tidak disukainya, tidak berarti juga untuk membuatku tenang dan berego tinggi.

Mereka hanya bersikap bak gerombolan panitia MOS garis keras yang tengah menggojlok dan memplonco siswasiswi baru. Anakanak sekolahku yang akan masuk sekolah semua diteriaki disuruh berkumpul, duduk, merapat, dan dibentakbentak kasar. Lakilaki dan perempuan. Bila ada yang dianggap bermuka atau bersikap melawan akan diberi tekanan yang lebih tinggi, bahkan bisa diberi fisik seperti ditendang, ditampar, atau didorong kepala. Jumlah mereka sangat banyak, hampir seratus orang. Karena itulah warga sekitar atau orangorang yang melintas dan berakhir terjebak macet, karena ada aksi penyerangan, tidak bisa menghentikan mereka. Mobil Abi pun begitu kesulitan masuk ke parkiran luar sekolah. Sepertinya hari itu menjadi Hari Terlambat Siswa di sekolahku.

Pihak guru, penjaga sekolah, dan petugas keamanan sekolah pun sulit berpikir membubarkan mereka. Beberapa guru yang baru datang dan turut telat karena ada kemacetan ke jalanan menuju pintu gerbang sekolah kebingungan. Juga hanya bisa melihat muridmurid mereka dibuat kengerian di luar gerbang, ketika melewati temantemanku itu seolah tiada mengenal. Karena para berandal berseragam SMA itu menggertakgertak mereka agar segera bergerak masuk ke dalam sekolah. Kepala Sekolahku Pak Dr. H. Syarif Hidayatullah, Lc., MBA. dan Bu Rosmala berbincangbincang kecil bagaimana mereka bertindak menuntaskan peristiwa takterduga yang muncul sepagi itu. Setelah tahu dari salah seorang guru yang kebetulan ketika melewati para begundal itu membaca bet sekolah mereka, berinisiatif cepat menghubungi kepala sekolah mereka, juga Kapolsek setempat.

Abi sama sekali tidak bertindak. Apa lacur, ia ingin melihat bagaimana tindakanku melihat itu, apa memang ia sudah paten tidak mau mengingatingat kekelamanannya besar di jalanan—dengan membubarkan kawanan anak bangsa yang kurang didikan patriotisme dan akhlakul karimah? Ia lebih peduli memilih berlamalama terkena macet daripada baju besar gamis putihnya dipertanyakan.

Bantuan yang diharapkan pun datang. Tapi bukan dari pihak kepolisian, rombongan masyarakat, atau utusan dari sekolah para penyerang belia itu. Siapa mereka? Ya, anakanak seumuran mereka juga. Berseragam sekolah. Namun tidak semuanya seragam. Ada pembedanya. Ada yang mengenakan batik sekolah, lalu yang mengenalkan seragam praktik ala montir, dan sisanya yang berseragam anak SMA pada umumnya. Rupanya itu gabungan dari tiga sekolah yang bermaksud menjadi pahlawan bagi adikadik mereka di sekolahku, atau memang itu dijadikan kesenangan menghajar para begundal yang sangat sok jago di kawasan situ.

Tiga kelompok itu, jika dihitung kirakira sedikit lebih banyak jumlahnya, berlarian dengan senjata masingmasing di tangan. Sebagian besar senjata tumpul atau sejenis pemukul. Langsung saja mereka kompak menyerang sasaran. Suasana menjadi gaduh, penuh teriakan, sorakan anak-anak kesetanan, dan serbuan bunyi klakson hampir dari setiap kendaraan. Tawuran yang sebenarnya terjadi. Para pecundang memilih lari taktentu arah dan para pemberani bergerak taktakut mati.

Lihat selengkapnya