"Rhea Rosaline?"
Aku tersentak, tubuhku spontan menegang. Kepalaku menoleh kaku ke arah Bu Ida yang tengah mengabsen di depan kelas, namun pandanganku tak sengaja meleset ke arah pemuda jangkung yang tengah berdiri tegap di samping Bu Ida.
Hari ini cuaca terasa suram. Matahari menyembunyikan dirinya, berganti dengan derasnya hujan dan sambaran petir yang cukup keras. Embusan angin tak sekali dua kali menerobos jendela kelas, dengan pohon yang melebatkan daunnya tengah menari hebat di tengah gelapnya langit.
Entah mengapa, aku merasa hari ini akan menjadi hari yang buruk.
Aku menggigiti bibir bawah, melirik kecil ke arah pemuda dengan raut datar yang tengah berdiri di depan kelas. Pemuda itu tak berekspresi, pandangannya kosong, dengan kulit putihnya yang pucat membuatnya makin berkesan mengerikan.
"Rhea Rosalin?" Bu Ida mengulang memanggil namaku, membuatku mengerjap tersadar dan mau tak mau mengangkat tangan sekilas.
Dan, pemuda itu menolehkan kepalanya.
Menatap tepat ke arahku.
Aku membulatkan mata, darahku berdesir seketika melihat paras putih pucatnya. Kuteguk ludah sesaat, berusaha menguasai diri.