Butiran air langit tidak mau berhenti, seolah bumi belum cukup basah karenanya. Jika langit tengah menangis, mungkin ia benar-benar bersedih sampai air matanya tak kunjung surut. Berbeda sekali dengan Freyya. Gadis mungil pembenci hujan itu tidak pernah menangis. Jadi, saat bersedih ia lebih suka diam. Kadang, justru tersenyum samar seolah menantang kesedihan itu untuk mengalahkannya.
Seperti sore itu. Freyya yakin jika hatinya tengah bersedih, tapi ia tidak mau menangis. Mungkin, hujan sore itu turun untuk mewakili air matanya.
Freyya duduk di depan jendela besar di kamarnya. Jendela itu berembun karena sejuknya air hujan. Jari telunjuk Freyya tidak henti malukis garis-garis aneh di kaca. Ia sampai kesal karena goresan telunjuknya itu cepat sekali menghilang ditelan uap embun.
"Sayang, maaf Dady pulangnya telat." Seorang pria muda yang baru saja membuka jas hitam dan hanya tinggal menyisakan kaos putih polos menempel di badan tegapnya menghampiri Freyya. Ialah Dady-nya Freyya. Pria yang biasa dipanggil Alan itu begitu rupawan. Tidak heran jika Freyya juga memiliki paras jelita.
Freyya menoleh singkat saat Dady-nya mencium pucuk kepalanya. Detik berikutnya, ia kembali melukis di kaca. "Dady...." Akhirnya, ia membuka suara imutnya.
"Iya, sayang ?" Sang Dady duduk di samping gadis mungilnya, kemudian ikut melukis bentuk-bentuk tidak jelas di kaca.
"Kapan hujannya berhenti? Frey mau lihat pelangi," ujar Freyya.
"Sayang, sekarang kan udah sore, mendung juga. Sinar mataharinya ketutup awan, jadi gak akan ada pelangi," jawab Alan lembut.
Bibir mungil Freyya seketika mengerucut. "Hufff.... Kata Momy, kalau habis hujan pasti ada pelangi."
"..." Raut wajah Alan mendadak jauh lebih mendung dari awan di langit. Hanya saja, tanpa hujan air mata.
"Kenapa Dady diem?" tanya Freyya.
"Gak papa.” Alan segera memperbaiki ekspresinya, tersenyum lembut. “Gimana kalau sekarang kita buka kado Dady buat kamu? Hari ini kan, kamu ulang tahun yang kelima."
"Gak mau. Dulu Momy bilang kalau kado ulang tahun Frey yang ke lima itu peri. Aku baru mau buka kadonya kalau isinya peri."
Alan kembali tertunduk muram. Bukan salah Freyya kalau ia terlalu polos sampai tidak menyadari jika semua yang ia ucapkan mengenai Momy-nya hanya membuka ruang duka yang bahkan belum sepenuhnya tertutup di hati Dady-nya.
"Frey sayang, kamu kan peri mungilnya Dady. Masa mau kado peri juga? Kadonya yang lain aja, ya?" Alan memaksakan tersenyum.
"..." Bukannya menjawab, Freyya justru bangkit dan meninggalkan Dady-nya di sofa yang bersandar ke jendela besar itu. Ia keluar dari kamarnya dengan air muka kecewa.
Alan menghela nafas lelah. Bukan raganya yang lelah, melainkan jiwanya. Ia menerawang ke langit mendung. "Caitlyn..., kamu ninggalin Frey dengan banyak kebohongan," gumamnya dengan mata mulai berkaca-kaca. "Sekarang aku harus gimana? Gimana kalau aku gagal jaga putri kita? Aku gak sanggup.... Seandainya kamu bisa kembali...."
~~~
Sosok ajaib nan cantik sempurna tengah asik melayang di atas sebuah awan putih bersih. Ia tertawa riang sambil terus mengayunkan tangannya yang memegang juntaian kain putih bertaburan kerlip. Kain putih berkerlip yang nyaris transparan itu sempurna melilit tubuhnya. Hanya memperlihatkan bagian dada dan tangan ramping yang terlihat bercahaya. Sementara awan putih bersih yang ia tumpangi, tampak begitu kontras dengan awan mendung pembuat hujan yang terus menerus ia ciptakan dari ayunan tangannya.
"Fairy Illy Acacia!!!"
Suara teriakan itu begitu lembut namun tegas. Cukup tegas hingga ayunan tangan sosok peri berambut cokelat dan bernama Fairy Illy Acacia itu berhenti, seiring dengan hujan yang juga berhenti. "Pasti kena marah lagi," tebaknya.
Peri itu segera menuntun awan putihnya naik menembus awan mendung. Sampailah ia di tempat yang didominasi warna putih. Di depannya, sekarang sudah menunggu sosok wanita cantik dengan gaun putih megah yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia mengenakan mahkota kecil namun dikelilingi juntaian manik-manik yang menyilaukan. Ialah Ratu Classera.
"Mau sampai kapan kamu menaburkan hujan?" tanya sang Ratu. "Jangan kamu buat awan mendung itu lagi, Fay Illy! Kamu bisa mengganggu siklus alam."
"Maafkan saya, Ratu." Peri yang biasa dipanggil Fay Illy itu tertunduk menyesal.
Tapi, Ratu Classera tahu betul itu bukan penyesalan yang tulus. Fay Illy sudah terlalu sering membuat kekacauan di alam. "Saya tahu kamu akan mengulangi kekacauan semacam ini lagi." Ratu menatap Fay Illy Sarkastik. "Kamu ingat seberapa banyak kekacauan yang sudah kamu buat? Bukan hanya di bumi, tapi juga di sini, di Kahyalott ini."
Ratu mengulurkan tangannya ke arah danau jernih di samping mereka berdiri. Kemudian, munculah gambaran Fay Illy yang tengah melakukan kenakalannya. Mulai dari menurunkan hujan es di bumi, menciptakan badai salju, melukis aurora di langit kota hingga menarik perhatian NASA, menyelimuti ibu kota Indonesia dengan awan mendung selama berhari-hari hingga kota itu terlihat seperti kota yang nyaris mati karena gelapnya.
Dan terakhir, terlihatlah taman pelangi kahyalott yang dihiasi beragam warna-warni bunga. Tak lama, di taman pelangi itu muncul segerombolan awan domba. Awan domba itu berlari merusak bunga-bunga. Setelah awan domba itu pergi meninggalkan jejak kekacauan, munculah Fay Illy dengan tawa riangnya.
"Kamu lihat itu semua?" tanya Ratu setelah kembali melambaykan tangannya untuk mengakhiri gambaran di permukaan danau jernih itu. "Itu belum semua,” sambungnya. “Masih banyak kekacauan yang kamu buat."
"Saya mohon…, ampuni saya, Ratu. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Fay Illy menunduk lebih dalam seraya memohon maaf.
"Tidak! Kamu sudah terlalu sering meminta maaf, tapi kembali mengulanginya." Ratu secara tegas menolak. Kemudian, ia mengeluarkan sebuah liontin berbentuk sayap bening berkilauan. "Kamu harus di hukum. Dan ini hukuman kamu."
Ratu memberikan liontin itu pada Fay Illy. "Kamu harus diasingkan ke bumi dan menjadi manusia untuk menjalankan satu misi kebahagiaan."
"..."