“Frey, Freyya!” Pagi-pagi itu, Alan sudah mencari Freyya ke setiap sudut rumahnya. Rumah luas bergaya minimalis dengan sedikit sentuhan Eropa classic. Tapi, putrinya itu tidak ada di mana pun.
Sementara itu, di halaman belakang….
"Keluar...! Jangan ngumpet, peri!" Suara mungil Freyya tidak henti berteriak, memanggil peri yang ia yakini ada di sekitar pohon akasia. "Peri...." Tapi, Volume suaranya perlahan mengecil saat ia sendiri mulai ragu.
Sang peri sepertinya sudah terbang kembali ke langit dan meninggalkan pohon akasia besar di belakang rumahnyanya itu. Seperti itulah pikir Freyya. Freyya tertunduk kecewa. Ia kemudian duduk bersandar di belakang pohon akasia, kembali bertopang dagu di antara kedua lututnya yang ia peluk. Wajahnya kembali datar dengan pandangan kosong, tapi bibirnya tetap melengkungkan senyum samar.
Alan keluar dari pintu kaca besar yang baru saja ia geser. “Frey, kamu di mana?!”
Aneh. Biasanya, jika tidak ada di dalam rumah, Freyya dipastikan tengah duduk di hamparan rumput hijau, di halaman belakang itu. Tapi, kali ini Alan mulai panik saat tidak mendapati putri mungilnya di sana. "Freyya!"
Alan berlari ke pohon akasia. Tanpa sengaja, ia menoleh dan mendapati Freyya bersembunyi di sana. Akhirnya, ia bisa bernafas lega. "Sayang, kamu ngapain di sini? Dari tadi Dady panggil kamu, kenapa gak jawab?" tanyanya sambil berjongkok di samping Freyya. Freyya memang sudah mendengar suara Dady-nya memanggil-manggil, tapi ia tetap diam di balik pohon. "Frey lagi nungguin perinya di sini. Dady jangan berisik, nanti perinya gak mau datang lagi," sahutnya sedikit berbisik.
Peri lagi. Pagi itu Alan harus mendengar bualan Caitlyn melalui celoteh polos Freyya tentang peri, dan ia muak dengan itu. Tapi, Alan tetap berusaha mengendalikan dirinya di depan Freyya. "Sayang, sekarang kamu mandi, ya? Kita harus ke sekolah. Beberapa hari kemarin kan, kamu bolos gara-gara hujan."
Freyya menggeleng pelan. "Aku masih mau nunggu perinya di sini. Momy gak bohong, Momy beneran kirim peri buat kado ulang tahun aku, Dady. Pasti perinya dari kemarin nungguin aku di sini. Coba aja gak hujan, pasti aku udah ketemu perinya."
Alan benar-benar sudah lelah mendengar semua hal tentang peri. Baginya, itu hanyalah kebohongan besar. "Freyya! Peri itu gak ada! Momy kamu itu bohongin kamu! Dia bohong!" Suara bentakannya lolos tak terkendali. "Satu-satunya peri yang kita punya udah pergi, Frey! Peri kita itu Momy kamu, dan dia udah pergi selamanya!" Alan bangkit dan menatap Freyya nanar dengan air mata tertahan.
Freyya hanya menatap Dady-nya dengan tatapan rumit. Wajahnya kembali kosong tanpa ekspresi. Seperti biasa dan selalu seperti itu. Kemudian, Freyya kembali bertopang dagu di lututnya, seolah Alan sudah tidak ada di sana. Ia benar-benar mengabaikan Dady-nya yang baru saja meledak dalam emosinya.
Alan menarik nafas berat dengan bahu gemetar. Ia tidak tahu sampai kapan Freyya akan seperti itu. Akhirnya, ia tidak tahan dan meninggalkan Freyya di sana untuk menyembuntikan air matanya.
"Dady jahat...." Freyya barulah bergumam saat Alan sudah pergi. "Momy cuma pergi sebentar, nanti juga kembali lagi."
Tepat di depan wajah Freyya, nyaris tanpa jarak, wajah pilu Fay Illy begitu terpancar dari tatapan mata amber-nya. Ia tidak tega melihat sosok mungil itu. Jemari lentiknya menyentuh kening Freyya dan terus bergerak melewati hidung bangir, bibir mungil, dan kemudian berakhir di dagu runcing Freyya.
"Maaf, karena aku terlalu asik menurunkan hujan, kamu sampai tidak mau keluar rumah beberapa hari kemarin," sesal Fay Illy dengan suara berbisik dan tidak ia perdengarkan pada Freyya. Seperti juga wujud perinya yang kembali ia sembunyikan dari penglihatan Freyya. “Seandainya aku tahu kamu benci hujan, mungkin aku tidak akan membuatnya terus-menerus turun.”
Fay Illy kembali melayang di udara. Ia melihat ke arah Alan masuk, kemudian kembali menatap wajah kosong Freyya. Fay Illy sepertinya mulai memahami situasi yang terjadi di antara dua manusia itu. Apalagi, tindakannya menampakan diri pada Freyya tadi ikut menjadi penyebab kemarahan manusia laki-laki itu pada si mungil ini. "Aku harus segera masuk ke dalam hidup kalian.... Baiklah, aku akan mencari cara untuk itu."
Juntaian kain putih bercahaya terbang dengan lekukan lembut, mengikuti pergerakan Fay Illy. Ia melayang mengikuti Alan ke dalam rumah, menembus pintu geser yang terbuat dari kaca besar. Ia kemudian melihat kesekeliling ruangan yang dilewatinya. Barang-barang di dalam rumah itu sangat asing untuknya. Bentuk-bentuknya aneh.
Tiba-tiba Fay Illy mendengar suara berderu cukup keras. Ia kembali melayang, menembus sebuah dinding bercorak bunga tulip. Kemudian, mengikuti benda besar berwarna hitam yang bergerak cepat. Itu mobil. Ya, Fay Illy tahu nama itu. Ia bahkan bosan melihat benda-benda seperti itu dari atas awan. Fay Illy tidak suka melihatnya berjejer mengular di permukaan bumi, dan menciptakan asap dan hawa panas yang menelan udara segar di bumi.
Akhirnya, ia menembus masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah pria yang berusaha ia kenali. Alan, Dady-nya Freyya. Fay Illy memiringkan wajahnya dengan pandangan bingung. "Bukankah dia disebut manusia pria dewasa? Kenapa menangis? Padahal, manusia mungil tadi saja tidak mau menangis."
Alan mencoba tetap fokus mengendalikan Audi hitamnya. Mobil itu tetap melaju dengan kecepatan stabil walaupun sang pengemudi tengah menangis tanpa suara. Air mata yang baru menggenang di peluluk matanya langsung ia seka sebelum menetes, dan terus seperti itu.
"Caitlyn..., aku harus gimana? Sejak kepergian kamu, Freyya selalu gitu. Dia bahkan gak pernah nangis lagi! Aku gak tahu lagi harus gimana. Aku gak sanggup lihat dia.... Dan parahnya, kamu malah ngasih dia mimpi tentang peri sebelum kamu pergi. Yang bener aja? Peri itu gak ada!!!" Suara Alan menggelegar dengan dibarengi suara decitan yang memekakan telinga dari mobilnya yang berhenti mendadak dan menepi. Ia kemudian menenggelamkan wajahnya pada stir, dan menangis dengan bahu bergetar.
"Hei!" Fay Illy marah mendengar kalimat terakhir itu. "Lalu aku apa? Aku ini peri! Kalau si manusia mungil anak kamu itu saja percaya pada peri, kenapa kamu tidak?" protesnya geram. "Apa aku harus menampakan wujudku padamu sekarang juga?"
Alan tetap asik menangis. Semarah apa pun Fay Illy, ia tetap tidak akan mendapat respon dari manusia yang tidak melihat wujudnya itu. Tangisan Alan yang tak kunjung berhenti itu menyentuh relung hati Fay Illy.
"Baiklah..., aku tidak akan marah padamu, manusia laki-laki yang sedang bersedih."
Fay Illy membelai rambut Alan. Jemari lentiknya menyentuh pipi Alan yang terasa hangat. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya ke pipi Alan. Iris mata amber-nya menyapu wajah itu dari samping, hingga tiba-tiba Alan mengangkat wajahnya dari stir. Terlihatlah wajah Alan sepenuhnya oleh Fay Illy. Tapi, Fay Illy masih belum juga puas melihat wajah itu. Ia berusaha menghafal sekecil apa pun bentuknya.
Dengan sosoknya yang bebas menembus ruang, Fay Illy beranjak ke depan Alan hingga wajahnya berhadapan dengan wajah yang masih termenung setelah menangis itu. Ia perlahan menyentuhkan ujung jari tengahnya di hidung mancung Alan. Jari itu berhenti tepat di atas titik hitam yang cukup menarik perhatiannya.
"Kenapa ada titik hitam ini di hidung kamu?" tanya Fay Illy. Kemudian, tatapan mata amber-nya terkunci pada sepasang iris mata berwarna hazel milik Alan. "Warna mata kamu indah, seperti semburat senja di awan mendung...," gumamnya. "Berbeda sekali dengan mata si mungil yang sebiru permukaan laut yang tenang dan jernih, dengan semburat kelabu."
"Maafin Dady, Frey...," Alan menggumam setelah akhirnya bisa kembali menguasai dirinya. Alan sadar, ia tidak bisa bersikap sekeras tadi pada putri mungilnya. Dan ia benar-benar menyesal sudah membentaknya.
Fay Illy terperanjat karena mendengar gumaman Alan. Tapi, ia masih terpaku di depan wajahnya. Wajah Alan kemudian bergeser maju. Fay Illy melotot saat bibir mereka bertemu dan bersentuhan, matanya masih saja terkunci pada mata hazel itu.
"Hmm?" Samar-samar, Alan seperti merasakan sesuatu di depan wajahnya. Dan mendadak tercium harum yang lembut di udara, di dalam mobilnya. "Ini… wangi apa?"
Fay Illy segera bergeser dari depan Alan. "Apa dia baru saja merasakan kehadiranku?" tanyanya sambil menatap Alan takut, tapi....
"Cuma perasaan aja kali," kata Alan saat aroma itu menghilang. Ia melupakannya dan kembali pada stir untuk melanjutkan perjalanan menuju studio musik.
Fay Illy menghela nafas lega. "Fiiuuhh.... Beruntung...." Ia tersenyum hangat pada Alan. "Dari garis wajahmu, dan dari warna hazel di mata teduhmu, aku tahu kamu ini manusia yang baik. Aku tahu, kadang manusia memang harus berteriak saat dia marah atau bersedih."
Perlahan, Fay Illy menghilang dari udara di dalam mobil Alan. "Tenang saja, aku akan membantumu...," bisiknya.
~~~