Setiap hari senin sampai dengan kamis, rutinitas yang biasa Alan lakukan adalah mengantarkan Freyya dan bi Nana ke TK setiap pukul 8 pagi, kemudian bergegas menuju studio. Tepat pukul setengah 12 siang, ia akan kembali ke TK untuk menjemput Freyya. Kadang, ia menyempatkan diri untuk makan siang di rumah sebelum bertolak kembali ke studio. Alan biasa pulang dari studio sekitar pukul 5 atau 6 sore. Sesekali ia bisa pulang sangat larut jika sedang mengerjakan project dengan deadline mendesak.
Seperti pagi itu, Alan baru saja kembali pada rutinitas biasanya setelah mengantarkan Freyya ke sekolah. Dalam keadaan macet, Alan mulai tidak sabar karena pekerjaan di studio sudah menunggu untuk diselesaikan. "Ini tumben banget, sih! Macetnya lama!" gerutunya. Ia beberapa kali menekan klakson. Percuma saja, suara klakson itu hanya menambah bising di tengah panasnya traffic jam. "Huffhhh...." Akhirnya, Aley menghela nafas pasrah.
"Hei! Bersabarlah. Jangan marah-marah seperti itu...," kata Fay Illy yang terus memperhatikan setiap detail gerakan dan ekspresi Alan di sampingnya. "Seandainya saja aku bisa membawa mobil kamu ini terbang, hihihi." Ia kemudian membayangkannya seraya tertawa renyah. “Mungkin, setelah itu aku akan diasingkan ke lembah Darkenfill karena sudah membuat gempar dunia manusia dengan mobil terbang.”
~~~
Sampailah Alan di sebuah gedung dengan dominasi material kaca yang cukup tinggi. Cepat-cepat ia melangkah masuk. Dan Fay Illy masih terus terbang mengikutinya.
Seorang laki-laki berbadan tegap dan sedikit lebih tinggi dari Alan baru saja turun dari motor Harley dan langsung berlari menyamakan langkahnya dengan Alan. "Pagi, bro!" sapa Verro.
Verro Vestviant adalah sahabat Alan sejak mereka masih duduk di bangku kuliah. Dulu, mereka tinggal dalam satu rumah kost. Sampai akhirnya mereka lulus dan memulai karir mereka sebagai komposer. Setelah sama-sama sukses, mereka membangun rumah impian mereka masing-masing. Bedanya, jika Alan membangun rumah itu bersama seorang pendamping, Verro justru asik membangun rumah dengan gaya maskulin tanpa sentuhan feminin. Pasalnya, Verro masih sangat betah membujang hingga sekarang.
"Ah! Tumben hari ini lo gak telat!" sahut Alan sedikit meledek.
"Gue telat dikatain, gue ontime juga lo ledekin, mau lo apa? Emang ya, cowo itu selalu salah, huhuuu..." Verro mulai membanyol.
"Lo lagi curhat? Emang cowo kayak lo selalu salah di mata cewe, hahaa!" Alan tergelak sambil meninju lengan Verro. Kontan Verro membalas dengan menonjok dadanya.
"Eh! Mereka kenapa saling memukul?" Fay Illy mulai panik, tapi ia juga bingung karena mereka tertawa dan sama sekali tidak terlihat sedang bertengkar. "Manusia memang aneh. Hmmm... apa aku bisa hidup sebagai manusia, ya?" gumamnya ragu. "Ah, aku harus bisa!"
Seharian itu, Fay Illy selalu memenuhi udara di sekitar Alan. Ia tidak melepaskan Alan sedetik pun untuk diikuti dan diteliti kehidupannya sebagai manusia. Perlahan, ia mulai mengerti dengan pekerjaan Aley. Bahkan, ia sangat menyukai musik-musik yang Alan ciptakan.
Sebagai seorang peri, selain mempunyai kekuatan sihir di luar nalar manusia, Fay Illy juga memiliki kecerdasan di atas manusia normal. Sehingga ia bisa dengan cepat beradaptasi dan mempelajari semua hal asing di dunia manusia.
~~~
Setelah kesibukan yang melelahkan, siang itu Alan bergegas menuju Futaba International School untuk menjemput Freyya dan bi Nana. Baru melewati portal penjaga di gerbang masuk sekolah, ia langsung disambut wajah murung Freyya dan bi Nana yang sudah menunggu di kursi taman sekolah itu.
"Pasti Frey bikin masalah lagi, deh!" tebak Alan yakin.
"Sebegitu seringkah si mungil membuat masalah? Kamu sampai seyakin itu," tanya Fay Illy dari sebelah Alan.
Bi Nana mengajak Freyya untuk masuk ke dalam mobil saat melihat mobil Alan datang. Langsung saja Alan menatap tajam pada Freyya yang langsung tertunduk saat baru duduk di sebelahnya. Otomatis Freyya menduduki Fay Illy, atau menembus Fay Illy.
"Kamu kenapa? Kamu dimarahin lagi ya, sama guru kamu?" tanya Alan dengan suara penuh penekanan. Freyya masih tetap menunduk.
"Non Frey bikin temen laki-lakinya nangis lagi, tuan. Biasa…, den Davi. Makanya dimarahin sama bu Teacher." Akhirnya, bi Nana yang mewakili Freyya menjawab. Lucunya bi Nana, ia terbiasa memanggil guru Freyya dengan sebutan bu Teacher atau pak Teacher.
Alan menghela nafas kasar. Benar saja tebakannya, Freyya selalu membuat masalah dengan teman-temannya. Hal itu diperparah dengan kepribadian Freyya yang pendiam dan tidak pernah mau berbaur. Freyya lebih suka menyendiri. "Frey..., harusnya kamu berteman, bukan malah bikin mereka nangis. Apalagi Davi itu tetangga dekat kita. Kalian bahkan sudah kenal dari bayi," tegasnya. Alan kemudian mulai memutar balik Audi A4 hitamnya keluar dari gerbang sekolah.
"Davi ngatain aku!" aku Freyya akhirnya. Davi Andario adalah anak laki-laki yang memang sering mengganggunya, dan selalu berujung dengan ia menangis di tangan Freyya.
"Ngatain apa? Davi itu cuma mau jadi teman kamu, Frey! Kamunya aja yang selalu gak mau," jelas Alan menimpali.
"Dia ngatain aku peri jahat! Kata Momy kan, gak ada peri jahat! Davi juga jahat udah ngambil lukisan peri aku yang belum selesai!" Freyya membalas dengan suara sedikit berteriak. Ya, Alan juga yang salah karena memulai berteriak padanya.
Alan mengatur nafasnya, mencoba menambah kesabarannya. Dan soal peri itu, ia sudah malas membahasnya. "Hmmm... ya udah. Lain kali kalau Davi ganggu kamu, kamu bilang sama bi Nana aja, ya. Jangan dilawan."
Freyya tidak menjawab, ia sibuk merengut seraya memalingkan wajahnya dari Alan. Ia kemudian melihat ke arah langit mendung. Sepertinya akan kembali turun hujan. Dan Freyya tidak mau hujan lagi.
Fay Illy mengikuti arah pandangan Freyya ke langit. Ia bisa memahami apa yang ada dalam pikiran Freyya hanya dengan melihat wajahnya. "Baiklah..., akan aku tiup awan mendung itu menjauh dari kota ini untukmu, mungil. Anggap saja ini permintaan maafku atas hujan yang turun seminggu kemarin," katanya. Kemudian, ia terbang menembus kap mobil.
Mendung pun mendadak berganti cerah.
~~~
Siang itu, Alan langsung kembali ke studio dan melewatkan makan siang bersama Freyya. Selain karena pekerjaannya, ia juga kesal pada Freyya dan semua hal berbau peri yang mengelillinginya. Alan kembali menenggelamkan diri dalam kesibukannya, dan perlahan bisa melupakan kekesalannya pada Freyya. Hari pun beranjak senja. Waktunya Alan pulang ke rumah.
Dan waktu Fay Illy akan habis dalam beberapa jam lagi….
~~~
Matahari terbenam kedua….
Fay Illy masih termenung di atas awan putihnya setelah selesai menyingkirkan semua awan gelap dari langit kota dengan keajaiban perinya. Kemudian, ia melihat ke ufuk barat. Di sana, semburat senja berwarna orange kemerahan bercampur cokelat, persis warna mata Alan sudah terlukis indah.
"Waktuku sudah habis. Aku harus melakukannya sekarang," gumam Fay Illy. Ia mengambil liontin sayap yang menempel di dadanya, lalu menggenggamnya erat. "Apa tidak apa-apa aku masuk ke dalam hidup mereka dengan cara seperti ini?" tanyanya, sangsi. "Aku jadi seperti penipu dalam dongeng karangan manusia yang aku lihat tempo hari di dalam benda yang bernama televisi." Tapi, akhirnya Fay Illy memantapkan hatinya. "Ah… sudahlah...."