Cahaya fajar baru saja merekah di ufuk timur Jakarta, menyapukan semburat jingga kemerahan di langit yang masih menyisakan sisa-sisa gelap malam. Di sebuah kamar bernuansa lembut, Nisa menggeliat pelan di atas tempat tidurnya. Matanya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya samar yang berhasil menyusup melalui celah gorden tebal yang menutupi jendela kamarnya. Udara pagi yang sejuk, khas setelah hujan semalam, terasa menyegarkan kulit. Ia menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan ketenangan yang hanya bisa ia rasakan di saat-saat seperti ini, sebelum hiruk pikuk kota sepenuhnya terjaga.
"Masyaallah," bisiknya lirih, sebuah ungkapan syukur yang otomatis terucap setiap kali ia memulai hari. Dengan gerakan yang sudah menjadi kebiasaan, ia menyingkap selimut, duduk di tepi tempat tidur, dan mengucek matanya yang masih terasa berat. Kakinya menapak lantai keramik yang dingin, mengirimkan sedikit sensasi kejut yang membantunya terjaga. Pandangannya kemudian tertuju pada sajadah berwarna hijau lumut yang terlipat rapi di atas kursi belajarnya. Tanpa menunggu lama, ia meraihnya, membentangkannya di lantai di samping tempat tidurnya, menghadap kiblat yang arahnya sudah ia hafal di luar kepala.
Nisa memulai salat qabliyah Subuh, dua rakaat sunnah yang tak pernah ia tinggalkan. Gerakannya begitu halus, tenang, dan terlatih, mencerminkan tahun-tahun pembiasaan yang ditanamkan keluarganya sejak ia kecil. Setiap takbir, rukuk, dan sujud ia lakukan dengan penuh kekhusyukan. Lantunan ayat-ayat pendek Al-Qur'an yang ia baca dalam salat terdengar lirih, nyaris seperti bisikan, tetapi sarat dengan penghayatan. Ia merasakan kedamaian yang aneh setiap kali dahinya menyentuh sajadah, seolah seluruh beban dan kerumitan dunia terangkat sejenak, digantikan oleh rasa pasrah dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Setelah menyelesaikan salat sunnah, ia melanjutkan dengan salat Subuh wajib, menunaikan rukun Islam kedua itu dengan kesempurnaan yang sama.
"Nisa, Sayang, sudah bangun?" Suara lembut ibunya, Fatima, terdengar dari arah dapur, memecah keheningan pagi. Aroma harum teh jahe dan kapulaga yang khas masakan ibunya mulai menguar, menandakan bahwa sarapan sederhana, tetapi penuh cinta sedang disiapkan.
"Iya, Ma, sudah," sahut Nisa sambil menyelesaikan doanya dan berdiri. Ia melipat kembali sajadahnya dengan hati-hati, meletakkannya kembali ke tempat semula. Kamarnya, meskipun tidak terlalu luas, selalu terasa nyaman. Dindingnya dihiasi beberapa kaligrafi Islami dan foto-foto keluarga. Tidak ada poster band atau idola dunia hiburan yang biasanya menghiasi kamar gadis seusianya. Semua tampak serasi dengan citra dirinya di mata keluarga dan lingkungan: seorang gadis Muslimah yang santun, penurut, dan berbakti.
Ia berjalan keluar kamar menuju dapur, di mana ibunya sedang sibuk menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir keramik. Ayahnya, Ahmed, sudah duduk di meja makan dengan Al-Qur'an kecil di tangannya, bibirnya bergerak-gerak pelan melantunkan ayat suci dengan suara rendah yang menenangkan. Adik perempuannya, Azizah, yang masih duduk di bangku SMA, tampak masih mengantuk sambil mengoleskan selai cokelat di atas roti tawar.
"Pagi, Ma, Pa, Azizah," sapa Nisa sambil tersenyum, mengambil tempat duduk di sebelah adiknya. "Pagi, Nak," jawab ayahnya, menghentikan sejenak lantunannya dan balas tersenyum hangat. "Tehmu, Sayang," kata Fatima sambil meletakkan secangkir teh mengepul di hadapan Nisa. "Minumlah selagi hangat."
Nisa menghirup aroma teh yang menenangkan itu sebelum menyesapnya perlahan, merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, menghalau sisa kantuk. Sarapan pagi di keluarga mereka selalu menjadi momen kebersamaan yang sederhana tetapi penuh makna. Obrolan ringan tentang rencana hari itu, nasihat-nasihat dari ayah dan ibu, atau celotehan Azizah tentang sekolahnya. Semua berjalan dalam ritme yang akrab dan menenangkan. Nisa mencintai keluarganya lebih dari apapun. Mereka adalah jangkar dalam hidupnya, sumber kekuatan dan juga alasan utama mengapa ia selalu berusaha menjadi anak yang baik dan membanggakan.
Namun, di balik senyum manis dan sikap santunnya, ada sebuah dunia lain yang Nisa simpan rapat-rapat untuk dirinya sendiri. Sebuah dunia yang berdenyut dengan ritme yang sama sekali berbeda dari ketenangan rumahnya. Dunia itu adalah musik Electronic Dance Music – EDM.
Setelah sarapan dan membantu ibunya membereskan meja makan, Nisa kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap berangkat kerja. Ia bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta kecil, pekerjaan yang cukup stabil meskipun terkadang terasa monoton. Sambil memilih pakaian – gamis panjang berwarna pastel dan jilbab senada yang menutupi rambut dan dadanya dengan sempurna – matanya tanpa sengaja melirik ke arah laci meja belajarnya yang terkunci. Di dalam laci itu, tersimpan "harta karun" rahasianya: sebuah pemutar MP3 lama, beberapa flash disk berisi ratusan lagu EDM dari berbagai subgenre – trance, progressive house, techno, dubstep – dan beberapa majalah musik elektronik impor bekas yang ia beli secara sembunyi-sembunyi dari toko buku loak.
Jantung Nisa sedikit berdebar setiap kali memikirkan koleksinya itu. Ada rasa bersalah yang menyelinap, tetapi juga ada percikan kegembiraan yang tak bisa ia pungkiri. Musik EDM adalah pelariannya, dunianya yang paling personal. Ritme yang menghentak, melodi yang euforik, dan dentuman bass yang dalam seolah mampu membawanya terbang ke dimensi lain, jauh dari ekspektasi dan aturan yang terkadang terasa mengekangnya.