Di belahan lain kota Jakarta, di sebuah apartemen studio yang lebih modern dan minimalis dibandingkan rumah Nisa yang hangat dan tradisional, Reza Satria sedang beraksi di depan seperangkat turntable dan mixer canggih. Ruangan itu, yang juga berfungsi sebagai studio mini pribadinya, dipenuhi dengan peralatan musik elektronik: synthesizer, drum machine, dan komputer dengan layar monitor ganda yang menampilkan gelombang-gelombang audio berwarna-warni. Dindingnya sebagian besar tertutup rak-rak berisi koleksi piringan hitam dan CD, mencerminkan kecintaannya yang mendalam pada berbagai genre musik, meskipun EDM adalah napas dan profesinya. Beberapa poster festival musik internasional berbingkai juga menghiasi dinding, kenangan dari panggung-panggung besar yang pernah ia jajaki.
Reza, atau DJ Rez G seperti nama panggungnya, sedang mempersiapkan set untuk penampilannya di salah satu klub ternama di pusat kota akhir pekan ini. Dengan headphone besar melingkar di lehernya, sesekali ia pasang di satu telinga untuk mendengarkan transisi antar lagu, jemarinya dengan lincah menari di atas tombol-tombol dan fader. Tubuhnya bergerak mengikuti ritme musik yang ia ciptakan, sebuah perpaduan antara tech-house yang dalam dan melodi progressive yang membangkitkan semangat. Keringat tipis mulai membasahi keningnya, tetapi matanya berbinar penuh konsentrasi dan gairah. Musik adalah dunianya, tempat ia merasa paling hidup dan paling menjadi dirinya sendiri.
Ia meraih sebuah piringan hitam dari rak, sebuah rilisan classic trance dari era awal 2000-an, dan dengan hati-hati meletakkannya di atas turntable. Ia ingin memasukkan sedikit elemen nostalgia dalam setnya kali ini, sebuah kejutan untuk para penggemar setianya. Suara gemerisik khas piringan hitam yang bertemu jarum terdengar sejenak sebelum melodi euforik yang tak lekang oleh waktu itu mengalun, memenuhi ruangan. Reza tersenyum. Inilah sihirnya. Kemampuannya untuk merangkai berbagai suara menjadi sebuah perjalanan emosional bagi para pendengarnya.
Ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Ia melirik sekilas, melihat nama manajernya, Jason, muncul di layar. Ia mengabaikannya sejenak, terlalu larut dalam momen kreatifnya. Beberapa menit kemudian, setelah ia menemukan titik transisi yang pas, barulah ia mengangkat telepon itu.
"Yo, Jason, ada apa?" sapa Reza, suaranya sedikit serak. "Rez! Lo di mana? Gue dari tadi teleponin. Soundcheck buat acara besok dimajuin sejam, bisa dateng lebih awal?" suara Jason terdengar sedikit panik dari seberang. Reza melirik jam digital di dinding. "Oke, oke, santai. Gue lagi nyiapin set buat Sabtu ini. Bisa, gue usahain setengah jam lagi sampe sana." "Bagus! Soalnya guest star DJ dari Belanda itu udah rewel dari pagi. Dan jangan lupa, setelah soundcheck, ada interview singkat sama majalah musik lokal." Reza menghela napas. Bagian inilah yang terkadang membuatnya sedikit jenuh. Publisitas, wawancara, pertemuan-pertemuan formal. Ia lebih suka berada di balik dek, berinteraksi dengan penonton melalui musiknya. "Iya, iya, gue inget. Ada lagi?" "Itu aja buat sekarang. Oh, dan tiket konser The Corrs yang lo minta udah gue amanin. VIP. Sesuai pesenan, satu aja kan?" Sebuah senyum tipis terukir di bibir Reza. "Yap, satu aja. Thanks, Jas. Lo emang yang terbaik." "Gue tahu," jawab Jason dengan nada bercanda. "Oke, buruan ke sini ya. Jangan telat!"
Panggilan berakhir. Reza meletakkan ponselnya kembali. The Corrs. Sebuah nama yang membawanya kembali ke masa remajanya, jauh sebelum ia mengenal gemerlap dunia EDM. Ibunya adalah penggemar berat band keluarga asal Irlandia itu. Dulu, saat ia masih belajar memainkan gitar akustik, lagu-lagu The Corrs sering menjadi bahan latihannya. Andrea Corr dengan suara merdunya dan permainan tin whistle-nya, Sharon dengan biolanya yang memukau, Caroline dengan gebukan drumnya yang khas, dan Jim dengan gitar dan keyboardnya. Musik mereka begitu berbeda dari apa yang ia mainkan sekarang, tetapi ada keindahan dan keabadian dalam melodi-melodi mereka yang selalu ia kagumi.