Beberapa hari berlalu sejak konser The Corrs. Nisa kembali menjalani rutinitasnya: bekerja di kantor, membantu ibunya di rumah, dan tentu saja, mencuri-curi waktu untuk menikmati musik EDM kesayangannya. Pertemuan singkatnya dengan Reza di konser itu sesekali melintas di benaknya, meninggalkan senyum tipis. Pria itu tampak ramah dan menyenangkan, dan Nisa merasa ada sedikit getaran positif dari interaksi mereka, meskipun ia tidak terlalu berharap banyak. Ia bahkan tidak yakin apakah Reza benar-benar mengingatnya.
Suatu sore, saat sedang istirahat makan siang di taman belakang kantornya, Nisa seperti biasa memasang earphone-nya dan memutar salah satu set terbaru dari DJ favoritnya, seorang produser melodic techno asal Jerman. Ia memejamkan mata, membiarkan alunan musik yang kompleks dan atmosferik itu membawanya pergi. Dentuman kick drum yang dalam berpadu dengan melodi synthesizer yang menghipnotis, menciptakan lanskap suara yang begitu ia cintai.
Tanpa ia sadari, seseorang berhenti tidak jauh darinya, mengamatinya sejenak. Itu Reza. Kebetulan sekali, Reza sedang ada janji temu dengan seorang klien di gedung yang sama dengan kantor Nisa. Saat ia berjalan melewati taman untuk mencari udara segar sebelum pertemuan, ia melihat seorang wanita berhijab duduk sendirian di bangku taman, kepalanya sedikit bergerak-gerak mengikuti irama yang hanya bisa ia dengar. Ada sesuatu yang familiar dari postur dan jilbab biru dongker itu.
Reza mendekat dengan ragu. "Permisi ... Nisa, kan?" sapanya pelan, tidak ingin mengejutkan.
Nisa membuka mata, terlonjak kaget. Ia segera mencabut earphone-nya. Wajahnya sedikit memerah karena terkejut sekaligus malu. "Eh, iya ... Reza?" Ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria dari konser The Corrs itu, apalagi di tempat seperti ini, di saat ia sedang "tenggelam" dalam musik rahasianya.
"Lagi-lagi kita ketemu di tengah alunan musik ya," kata Reza sambil tersenyum ramah. "Tapi kali ini, sepertinya genrenya beda dari The Corrs." Ia melirik ke arah ponsel Nisa yang masih menampilkan aplikasi pemutar musik.
Nisa semakin gugup. Apakah Reza bisa menebak apa yang sedang ia dengarkan? Ia buru-buru menutup aplikasi itu. "Eh, iya ... cuma lagi dengerin musik biasa aja kok," kilahnya, berharap Reza tidak bertanya lebih jauh.
"Musik biasa?" Reza mengangkat sebelah alisnya, senyumnya masih tersungging. "Dari gerakan kepala Mbak Nisa tadi, kayaknya bukan musik pop biasa deh. Itu tadi ketukan four-on-the-floor yang cukup intens kan? Mirip house atau techno?"
Nisa terdiam. Ia tidak menyangka Reza memiliki telinga yang begitu peka, bahkan hanya dari melihat gerakan kepalanya. Ia merasa seperti tertangkap basah. Haruskah ia mengaku?
Melihat ekspresi Nisa yang serbasalah, Reza tertawa kecil. "Santai aja, Nisa. Saya nggak akan nge-judge kok. Sejujurnya, saya juga lagi butuh asupan musik yang agak beda hari ini. Tadi habis dengerin demo lagu yang bikin kepala pusing." Ia lalu melirik lagi ke ponsel Nisa. "Boleh saya tebak? Tadi itu antara Lane 8, Ben Böhmer, atau mungkin Tinlicker?"
Mata Nisa membelalak. Bagaimana bisa Reza menebak dengan begitu akurat? Nama-nama yang ia sebutkan adalah beberapa produser melodic house dan techno favoritnya. "Kok ... kok kamu tahu?" tanya Nisa, rasa kagetnya mengalahkan rasa gugupnya.
Reza menyeringai. "Insting seorang ... penikmat musik," katanya, nyaris saja ia menyebut profesinya. Ia memutuskan untuk menahannya sejenak, ingin melihat reaksi Nisa lebih jauh. "Jadi, tebakan saya benar?"
Nisa mengangguk pelan, masih sedikit tak percaya. "Iya. Tadi lagi dengerin set dari Ben Böhmer."