Sejak pertemuan tak terduga di taman belakang kantornya, frekuensi komunikasi antara Nisa dan Reza meningkat pesat. Dimulai dari bertukar pesan singkat tentang rekomendasi lagu EDM terbaru, diskusi tentang set DJ yang baru mereka dengarkan secara online, hingga akhirnya merambah ke obrolan yang lebih personal tentang keseharian masing-masing. Nisa mendapati dirinya tersenyum lebih sering setiap kali notifikasi pesan dari Reza muncul di layar ponselnya. Ada semacam kegembiraan dan kelegaan bisa berbagi salah satu sisi terbesarnya dengan seseorang yang tidak hanya mengerti, tapi juga memiliki gairah yang sama.
Reza, di sisi lain, semakin tertarik pada Nisa. Bukan hanya karena pengetahuan musik elektroniknya yang luas dan mengejutkan, tapi juga karena kepribadiannya yang unik. Ada semacam ketenangan dan kedalaman dalam diri Nisa yang kontras dengan dunianya yang hingar-bingar sebagai seorang DJ. Ia penasaran dengan bagaimana Nisa menyeimbangkan kecintaannya pada musik yang identik dengan kebebasan dan dunia malam, dengan kehidupannya yang tampak begitu terstruktur oleh nilai-nilai agama dan keluarga.
Suatu sore, setelah beberapa hari bertukar pesan intens, Reza mengirimkan sebuah pesan yang membuat jantung Nisa sedikit berdebar:
"Nis, gue ada rencana mau eksperimen beberapa track baru di studio minggu depan, sore-sore sih. Bukan acara klub atau gimana, cuma sesi santai aja, mungkin sama beberapa teman musisi juga. Lo mau dateng lihat-lihat? Siapa tahu bisa kasih masukan dari perspektif pendengar setia EDM. Hehe."
Nisa membaca pesan itu berulang kali. Sebuah undangan. Bukan ke klub malam yang ia tahu pasti akan ia tolak, tapi ke studio. Tempat di mana musik itu diciptakan, diracik. Tempat di mana Reza menjadi dirinya sebagai seorang seniman. Sebagian dirinya merasa sangat ingin tahu. Ia ingin melihat bagaimana seorang DJ bekerja, bagaimana lagu-lagu yang ia dengarkan itu lahir. tetapi, sebagian dirinya yang lain merasa ragu dan takut. Pergi ke studio seorang DJ pria? Meskipun Reza tampak begitu baik dan menghargai, tetap saja itu terasa seperti melangkah terlalu jauh dari zona nyamannya, dari batasan-batasan yang selama ini ia jaga.
Ia belum membalas pesan itu hingga malam hari. Pikirannya berkecamuk. Ia mencoba membayangkan bagaimana suasana di studio Reza. Apakah akan ada orang lain? Apakah aman? Bagaimana jika ada yang melihatnya di sana dan melaporkannya pada keluarganya?
"Gimana, Nis? Penawarannya masih berlaku lho. Anggap aja kayak field trip buat pencinta musik elektronik," sebuah pesan baru dari Reza muncul, seolah bisa membaca keraguannya. Kali ini, ada emoji tersenyum di akhir pesan.
Nisa menarik napas panjang. Keingintahuannya akhirnya mengalahkan rasa takutnya. Ia ingin melihat dunia Reza, setidaknya sekali. "Oke, Rez. Boleh juga. Kapan dan di mana?" balasnya akhirnya.
Balasan dari Reza datang cepat, berisi alamat studio yang ternyata berada di sebuah ruko kreatif di kawasan Kemang, dan jadwal yang disarankan adalah Selasa sore minggu depan, sekitar jam empat, saat suasana belum terlalu ramai.
Hari Selasa itu tiba lebih cepat dari yang Nisa duga. Sepanjang hari di kantor, ia merasa sedikit gelisah, tetapi juga bersemangat. Ia memilih mengenakan gamis berwarna netral yang lebih simpel dan jilbab instan yang praktis, berusaha agar tidak terlalu menarik perhatian tetapi tetap sopan. Setelah jam kerja usai, ia segera memesan ojek online menuju alamat yang diberikan Reza. Jantungnya berdegup kencang sepanjang perjalanan. Ini adalah pertama kalinya ia melangkah ke wilayah yang sama sekali baru dan asing baginya.
Studio Reza ternyata tidak sebesar yang ia bayangkan, tetapi terlihat sangat profesional dan nyaman. Dindingnya dilapisi peredam suara, dan berbagai macam peralatan musik elektronik tertata rapi. Selain seperangkat turntable dan mixer yang Nisa kenali, ada juga beberapa keyboard, synthesizer analog, dan sebuah drum elektrik di sudut ruangan. Beberapa poster abstrak dan karya seni grafis bertema musik menghiasi dinding, memberikan sentuhan personal. Saat Nisa tiba, hanya ada Reza dan seorang pria lain yang sedang sibuk di depan komputer, yang kemudian Reza perkenalkan sebagai sound engineer-nya, Rian.
"Hei, Nisa! Akhirnya datang juga," sapa Reza dengan senyum lebar, tampak lebih santai dengan kaus oblong dan celana kargo. "Kenalin, ini Rian, partner gue di studio." Rian tersenyum ramah dan mengangguk singkat ke arah Nisa. "Halo." "Halo, Rian. Saya Nisa," balas Nisa, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.