Faith and Beats

Shabrina Farha Nisa
Chapter #6

Nada-nada Penasaran Reza

Kunjungan Nisa ke studio meninggalkan kesan yang mendalam bagi Reza. Bukan hanya karena masukan Nisa terhadap musiknya yang ternyata cukup jitu, atau antusiasmenya yang menular saat mereka "berlatih" DJ bersama. Lebih dari itu, Reza merasa semakin tertarik pada kompleksitas pribadi Nisa. Gadis itu seperti sebuah melodi yang indah tetapi penuh dengan lapisan-lapisan tak terduga. Di satu sisi, ada Nisa yang begitu bersemangat saat berbicara tentang beat drop atau harmoni synthesizer, matanya berbinar seolah ia bisa melihat suara. Di sisi lain, ada Nisa yang begitu tenang dan khusyuk saat tanpa sengaja Reza melihatnya menunduk berdoa sejenak sebelum meminum air mineral yang ia tawarkan, atau Nisa yang dengan sopan pamit pulang tepat sebelum azan Magrib berkumandang.

Kontras itu, yang awalnya hanya ia anggap sebagai keunikan yang menarik, kini mulai memicu rasa penasaran yang lebih dalam di benak Reza. Ia terbiasa dengan dunia yang serba cepat, bebas, dan terkadang dangkal. Dunia di mana spiritualitas seringkali hanya menjadi aksesori atau tren sesaat. Namun, pada Nisa, ia melihat sesuatu yang berbeda. Keyakinan itu bukan sekadar identitas, tapi tampak begitu mengakar dan menjadi bagian integral dari cara Nisa membawa diri, berbicara, dan bahkan menikmati musik.

Beberapa hari setelah kunjungan Nisa ke studio, mereka kembali bertukar pesan. Obrolan mereka masih didominasi oleh musik, tetapi sesekali Reza mencoba menyelipkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih personal, terutama yang berkaitan dengan dunia Nisa yang terasa begitu berbeda darinya.

"Nis, waktu itu lo pamit pas mau Magrib. Itu memang jadwal rutin ya?" tanya Reza suatu sore melalui pesan singkat, setelah mereka selesai membahas sebuah remix baru dari Deadmau5.

Nisa membaca pesan itu dengan sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Reza memperhatikan detail sekecil itu. "Iya, Rez. Itu waktu salat Magrib. Sebagai Muslim, kami salat lima waktu sehari," balas Nisa, berusaha menjawab sesederhana mungkin.

"Lima waktu? Wow. Itu ... disiplin banget ya," respons Reza, disertai emoji berpikir. "Gue salut sih. Gue sendiri kadang buat olahraga rutin aja susah banget konsistennya."

Nisa tersenyum membaca balasan itu. "Bukan cuma disiplin, Rez. Lebih dari itu, salat itu cara kami untuk terkoneksi dengan Tuhan, semacam... 'recharge' spiritual gitu. Kayak lo mungkin ngerasa 'recharge' pas nemu inspirasi musik baru?" Nisa mencoba memberikan perumpamaan yang mungkin bisa dipahami Reza.

Perumpamaan itu ternyata berhasil. Reza merenungkannya. Recharge spiritual. Ia sering merasakan kelelahan mental setelah tur panjang atau jadwal manggung yang padat. Musik memang memberinya energi, tapi terkadang ia juga butuh sesuatu yang lebih menenangkan, lebih mendasar.

"Hmm, 'recharge' spiritual ya... menarik," balas Reza. "Jadi, setiap salat itu ada makna khususnya? Atau ada ritual tertentu yang harus diikuti?"

Pertanyaan-pertanyaan Reza mulai mengalir lebih sering. Awalnya Nisa sedikit canggung dan berhati-hati menjawabnya. Ia khawatir Reza akan salah paham atau merasa ia sedang mencoba mengguruinya. Namun, nada pertanyaan Reza selalu terdengar tulus, lebih didorong oleh rasa ingin tahu yang murni daripada keinginan untuk berdebat atau mengkritik. Ia melihat kesungguhan di balik pertanyaan-pertanyaan itu.

"Kenapa kamu selalu bilang 'insyaallah' atau 'alhamdulillah'?" tanya Reza di lain kesempatan, setelah Nisa menggunakan salah satu ungkapan itu dalam percakapan mereka.

Nisa menjelaskan dengan sabar bahwa "insyaallah" berarti "jika Allah menghendaki", sebuah pengakuan bahwa manusia hanya bisa berencana, tetapi hasil akhir ada di tangan Tuhan. Sementara itu, “alhamdulillah" adalah ungkapan syukur atas segala nikmat.

Lihat selengkapnya