Hari-hari setelah kunjungannya ke studio Reza terasa berbeda bagi Nisa. Ada semacam cahaya baru yang menyinari rutinitasnya yang biasanya monoton. Pesan-pesan dari Reza menjadi semacam pelangi di tengah hari-harinya; obrolan mereka tidak lagi melulu tentang musik, tapi juga tentang hal-hal kecil, mimpi-mimpi, dan bahkan sesekali, tentang keraguan dan harapan masing-masing. Nisa mendapati dirinya semakin sering tersenyum sendiri saat membaca pesan dari Reza, atau tertawa kecil saat mengingat leluconnya. Perasaan yang dulu hanya sebatas kekaguman pada seorang teman dengan selera musik yang sama, kini mulai bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih personal, dan jujur saja, lebih mendebarkan.
Ia mulai menyadari bahwa Reza bukan hanya seorang DJ yang keren atau teman ngobrol musik yang asyik. Reza adalah pria yang baik, tulus, pengertian, dan memiliki kedalaman yang tidak ia duga sebelumnya. Cara Reza mendengarkan ceritanya, cara matanya berbinar saat berbicara tentang musik atau tentang hal-hal yang ia yakini, cara ia menghargai Nisa apa adanya tanpa pernah mencoba mengubahnya – semua itu mulai mengukir tempat khusus di hati Nisa. Ia mulai jatuh cinta.
Namun, kesadaran itu datang bersamaan dengan gelombang kecemasan dan ketakutan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Jika dulu ia hanya khawatir ketahuan menyukai musik EDM, kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia jatuh cinta pada seorang pria yang dunianya begitu berbeda, seorang DJ yang profesinya seringkali diidentikkan dengan kehidupan malam, dan yang terpenting, bukan seorang muslim.
Konflik batin Nisa yang selama ini seperti bara api kecil, kini berkobar menjadi api yang membakar. Setiap kali ia merasakan kebahagiaan saat bersama atau berkomunikasi dengan Reza, bayangan wajah ayah dan ibunya, ajaran agama yang ia pegang teguh, dan ekspektasi lingkungannya, akan langsung menghantam, membawa serta rasa bersalah yang menusuk.
"Apa yang sedang aku lakukan?" bisiknya pada dirinya sendiri suatu malam, setelah ia baru saja selesai bertukar pesan panjang dengan Reza, membahas tentang kemungkinan makna spiritual dalam musik trance. Ia memandangi langit-langit kamarnya, merasa seperti terombang-ambing di lautan tanpa arah. "Aku tidak boleh seperti ini. Ini salah."
Ia mulai mencoba menjaga jarak. Pesan dari Reza yang biasanya ia balas dengan antusias, kini ia biarkan terbaca lebih lama sebelum akhirnya ia balas dengan jawaban yang lebih singkat dan formal. Ajakan Reza untuk bertemu lagi di kedai kopi atau sekadar jalan-jalan sore ia tolak dengan berbagai alasan: sibuk dengan pekerjaan, ada acara keluarga, atau tidak enak badan.
Reza, tentu saja, merasakan perubahan itu. Ia bingung. Beberapa hari yang lalu Nisa tampak begitu terbuka dan bersemangat, tetapi kini ia seperti menarik diri ke dalam cangkangnya. Reza mencoba bertanya, apakah ada yang salah, apakah ia melakukan sesuatu yang menyinggung Nisa. tetapi Nisa selalu menjawab bahwa semuanya baik-baik saja, ia hanya sedang banyak pikiran.
Di kantor, Nisa menjadi lebih pendiam. Rekan-rekan kerjanya yang biasanya melihatnya sebagai sosok yang ramah meskipun tidak banyak bicara, kini melihatnya lebih sering melamun. Fokusnya pada pekerjaan menurun. Ia sering membuat kesalahan-kesalahan kecil yang tidak biasa ia lakukan. Pikirannya terlalu penuh dengan Reza, dengan perasaannya yang terlarang, dengan dilema yang merobek-robek hatinya.
Setiap kali waktu salat tiba, Nisa mencoba untuk lebih khusyuk, lebih lama dalam sujudnya, memohon petunjuk dan ampunan. Ia menangis dalam doanya, mencurahkan semua kegelisahan dan ketakutannya pada Sang Pencipta. "Ya Allah, aku mencintai-Mu. Aku tidak ingin melanggar perintah-Mu. Tapi kenapa Engkau hadirkan perasaan ini di hatiku? Perasaan yang begitu kuat, tetapi terasa begitu salah. Apa yang harus aku lakukan? Berikan aku kekuatan untuk memilih jalan yang benar, jalan yang Engkau ridai."