Perubahan sikap Nisa yang semakin menjaga jarak dan jawaban-jawabannya yang mengambang meninggalkan Reza dalam kebingungan yang nyata. Hari-hari terasa berbeda tanpa obrolan antusias mereka tentang musik, tanpa rekomendasi lagu yang saling mereka tukar, atau sekadar pesan singkat penyemangat hari. Reza mencoba menghargai permintaan Nisa untuk "ruang", tetapi ia tidak bisa menepis perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, sesuatu yang mungkin tidak Nisa ungkapkan sepenuhnya. Apakah ini karena dirinya? Karena profesinya sebagai DJ? Atau karena perbedaan dunia mereka yang kini mulai terasa begitu nyata bagi Nisa?
Semakin Nisa menarik diri, semakin kuat pula dorongan dalam diri Reza untuk memahami. Ia teringat akan ketenangan yang terpancar dari Nisa saat ia berbicara tentang keyakinannya, tentang bagaimana salat menjadi “recharge” spiritual baginya. Ia juga teringat akan kejujuran Nisa saat mengakui bahwa imannya pun terkadang naik turun, bahwa ia juga memiliki pertanyaan. Kejujuran itulah yang membuat Reza merasa bisa bertanya, merasa bahwa Islam bukanlah sebuah dogma kaku yang tak tersentuh, melainkan sebuah jalan hidup yang dijalani dengan penuh kesadaran dan perenungan.
Didorong oleh perasaannya yang semakin dalam pada Nisa dan juga oleh percikan rasa penasaran personal yang kini mulai membesar, Reza memutuskan untuk melakukan lebih dari sekadar bertanya-tanya. Ia mulai mencari. Bukan lagi pencarian acak di internet tentang fakta-fakta dasar, melainkan sebuah penjelajahan yang lebih terstruktur, lebih intelektual. Ia ingin memahami Islam dari akarnya, dari logikanya, dari filosofinya.
Langkah pertamanya adalah kembali pada dokumen PDF berjudul "Menggali Alasan Logis, Realistis, dan Ilmiah Memilih Islam di Luar Faktor Keturunan dan Doktrin Akhirat" yang pernah ia temukan. Kali ini, ia membacanya dengan fokus yang berbeda. Ia tidak lagi hanya mencari pemahaman tentang Nisa, tapi ia mulai mencoba memposisikan dirinya sebagai seorang pencari kebenaran, seseorang yang terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru.
Bab pertama dalam dokumen itu yang membahas tentang "Daya Tarik Intelektual dan Rasional Islam" langsung menarik perhatiannya. Konsep tauhid, atau keesaan Tuhan, dijelaskan sebagai sebuah argumen rasional yang memuaskan. Reza, yang dibesarkan dalam lingkungan sekuler dan cenderung agnostik, selalu merasa konsep ketuhanan yang kompleks atau politeistik dalam beberapa agama terasa membingungkan secara logika. tetapi, penjelasan tentang Tauhid dalam Islam – penegasan akan keesaan absolut Tuhan, yang menolak segala bentuk penyekutuan – terasa begitu sederhana, lugas, dan jernih.
Ia membaca tentang argumen dari keteraturan alam (argument from design): bagaimana harmoni dan kompleksitas alam semesta menunjukkan adanya satu Perancang Yang Maha Cerdas. Jika ada lebih dari satu tuhan dengan kehendak independen, bukankah akan terjadi kekacauan? Sebagai seorang musisi yang memahami pentingnya harmoni dan kesatuan dalam sebuah komposisi, argumen ini cukup beresonansi dengannya. Musik yang indah tercipta dari keselarasan berbagai elemen, bukan dari bentrokan yang tak teratur.
Kemudian, ada argumen tentang Tuhan sebagai Wujud Absolut (Wujud Mutlak). Jika ada lebih dari satu tuhan, maka keberadaan masing-masing akan menjadi batasan bagi yang lain, yang berarti tidak ada yang benar-benar absolut. Logika ini, bagi Reza, terasa begitu ... matematis. Bersih. Tidak ada ruang untuk ambiguitas. Ia teringat bagaimana Nisa pernah berkata bahwa bagian pertama dari syahadat Islam adalah "pernyataan monoteisme murni yang tanpa kompromi". Kesederhanaan dan ketegasan inilah yang mulai menarik sisi rasional Reza.