Langit Jakarta sore itu berwarna kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Nisa yang semakin gundah gulana. Beberapa hari terakhir, ia berhasil menjaga jarak dari Reza, membalas pesannya dengan singkat, dan menolak ajakannya dengan berbagai alasan. tetapi, semakin ia mencoba menjauh, semakin kuat pula ia merasakan kehampaan dan kerinduan. Di sisi lain, rasa bersalah dan takut pada keluarganya terus menghantuinya, menciptakan badai emosi yang tak kunjung reda di dalam dirinya.
Pemicu badai yang sesungguhnya datang dari arah yang tidak terduga, atau mungkin, sudah seharusnya ia duga. Adalah Rahima, sepupunya, yang tanpa sengaja melihat Nisa sedang tersenyum sendiri membaca pesan di ponselnya saat mereka sedang berkumpul di sebuah acara keluarga besar di rumah salah satu paman mereka. Rahima, yang memang memiliki rasa ingin tahu yang besar dan sedikit sifat “kepo”, dengan santai melirik ke layar ponsel Nisa dari belakang. Yang ia lihat adalah nama kontak "Reza" dengan foto profil seorang pria berambut pirang yang tersenyum menawan. Tentu saja, foto itu bukan foto Reza saat sedang beraksi sebagai DJ, melainkan foto kasual yang pernah Reza kirimkan pada Nisa.
"Cieee ... Reza siapa tuh, Nis? Pacar baru ya?" goda Rahima dengan suara yang cukup keras, membuat beberapa tante dan sepupu perempuan lain yang duduk di dekat mereka menoleh penasaran.
Wajah Nisa seketika pucat pasi. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia buru-buru mematikan layar ponselnya, tetapi terlambat. Tatapan penuh selidik dari para kerabatnya sudah tertuju padanya. "Reza? Siapa itu, Nisa?" tanya salah seorang tantenya dengan nada ingin tahu yang tak bisa disembunyikan. Nisa tergagap. "Bu-bukan siapa-siapa, Tante. Cuma teman ... teman kerja," jawabnya, berusaha terdengar setenang mungkin, meskipun dalam hatinya ia panik luar biasa. "Teman kerja kok mesam-mesem sendiri bacanya? Kayaknya spesial nih," timpal sepupu yang lain, diiringi tawa kecil.
Nisa merasa seperti sedang diinterogasi. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, tetapi Rahima, yang mungkin tidak bermaksud jahat tetapi hanya sekadar usil, terus memancing. "Iya, Nis, kenalin dong sama kita-kita. Orang mana? Kerja di mana?"
Meskipun Nisa berhasil mengelak dan mengganti topik pembicaraan saat itu, benih kecurigaan sudah tertanam. Dan kabar tentang "teman spesial" Nisa yang bernama Reza itu, entah bagaimana, sampai juga ke telinga kedua orang tuanya, Fatima dan Ahmed, beberapa hari kemudian. Mungkin melalui Rahima yang bercerita pada ibunya, yang kemudian bercerita pada Fatima. Atau mungkin dari salah satu tante yang lebih ‘senior’ dan merasa berkewajiban untuk memberitahu.
Malam itu, suasana di rumah Nisa terasa berbeda. Ayah dan ibunya lebih pendiam dari biasanya saat makan malam. Nisa bisa merasakan ada ketegangan di udara. Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi.
Dan benar saja. Setelah Azizah, adiknya, masuk ke kamar untuk belajar, Ahmed memanggil Nisa untuk duduk di ruang keluarga. Fatima sudah duduk di sana, wajahnya tampak serius dan sedikit cemas. "Nisa, ada yang ingin Ayah dan Ibu bicarakan denganmu," kata Ahmed, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. Jantung Nisa berdegup kencang. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. "Iya, Pa?" "Beberapa hari ini, Ayah dan Ibu dengar ... kamu sedang dekat dengan seorang pria bernama Reza. Apa itu benar?" tanya Ahmed langsung ke pokok permasalahan.