Benturan keras dengan keluarganya meninggalkan Nisa dalam keadaan terpuruk. Ultimatum ayahnya terasa seperti dinding batu raksasa yang tiba-tiba muncul, memisahkannya dari Reza dan dari kemungkinan masa depan yang baru saja mulai ia bayangkan. Hari-hari setelah malam konfrontasi itu berlalu dalam keheningan yang menyesakkan di rumah. Ayahnya nyaris tidak berbicara padanya, tatapannya dingin dan penuh kekecewaan. Ibunya, Fatima, meskipun hatinya ikut teriris melihat kesedihan putrinya, lebih banyak menangis dalam diam dan mencoba membujuk Nisa dengan lembut untuk menuruti keinginan ayahnya demi "kebaikan semua."
Nisa merasa dunianya runtuh. Ia mengurung diri di kamar, salatnya kini dipenuhi isak tangis yang lebih panjang, doanya lebih lirih namun sarat dengan keputusasaan. Bagaimana mungkin ia bisa melepaskan Reza? Reza yang telah membuka matanya pada dunia musik yang begitu ia cintai, Reza yang dengan tulus ingin memahami keyakinannya, Reza yang membuatnya merasa menjadi dirinya sendiri, utuh dan diterima. Tapi bagaimana juga ia bisa menentang orang tuanya secara terang-terangan, orang tua yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang dan kini merasa dikhianati?
Rasa bersalah menggerogotinya. Apakah ia egois karena menginginkan Reza? Apakah cintanya pada Reza adalah sebuah kesalahan besar yang akan menghancurkan keluarganya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar, membuatnya sulit tidur, sulit makan, sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya.
Di sisi lain, Reza juga merasakan dampak dari badai ini. Nisa, setelah menceritakan secara singkat dan penuh air mata tentang kemarahan keluarganya melalui telepon, menjadi semakin sulit dihubungi. Pesan-pesannya hanya dibalas seperlunya, teleponnya seringkali tidak diangkat. Reza mengerti bahwa Nisa sedang dalam tekanan besar, namun perasaan tak berdaya dan khawatir terus menghantuinya. Ia ingin sekali membantu, ingin melindungi Nisa dari kesedihan itu, tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Apakah ia harus mundur demi Nisa? Ataukah ia harus berjuang, meskipun ia belum tahu medan perang seperti apa yang harus ia hadapi?
Pencarian intelektualnya tentang Islam, yang awalnya didorong oleh rasa penasaran dan kekaguman pada Nisa, kini terasa semakin relevan. Ia mulai menyadari bahwa inti dari penolakan keluarga Nisa bukan semata-mata karena profesinya sebagai DJ, tapi lebih dalam dari itu, karena perbedaan keyakinan yang fundamental. Jika ia ingin benar-benar memahami Nisa dan memperjuangkan hubungan mereka, ia harus memahami dunia Nisa, memahami apa yang begitu penting bagi Nisa dan keluarganya.
Setelah hampir seminggu Nisa menarik diri, Reza tak tahan lagi. Ia mengirimkan pesan pada Nisa, memohon agar mereka bisa bertemu, setidaknya untuk berbicara, untuk saling menguatkan, apapun keputusan Nisa nantinya.
Dengan berat hati, Nisa akhirnya setuju. Mereka memilih bertemu di sebuah taman kota yang sepi menjelang sore, tempat yang minim kemungkinan bertemu dengan orang yang mereka kenal. Saat Nisa datang, Reza bisa melihat betapa berat beban yang dipikul gadis itu. Mata Nisa sembap, wajahnya pucat, senyumnya yang dulu selalu menghiasi bibirnya kini hilang entah ke mana.
"Nis ..." sapa Reza lembut, hatinya teriris melihat kondisi Nisa.
Nisa tak menjawab, ia hanya menatap Reza dengan pandangan yang penuh kesedihan, lalu air matanya kembali mengalir.
Reza segera meraih tangan Nisa, menggenggamnya erat. "Aku di sini, Nis. Kamu nggak sendirian."