Ultimatum ayahnya masih menggema jelas di telinganya: putuskan hubungan dengan Reza. Namun, bagaimana mungkin ia bisa melakukannya sekarang? Setelah semua yang telah mereka lalui, setelah Reza menunjukkan kesungguhan yang begitu besar untuk memahami dunianya, bahkan kini sedang dalam perjalanan spiritualnya sendiri untuk mendalami Islam. Dan setelah ... setelah mereka berbagi momen terlarang itu, yang meskipun penuh dosa, entah bagaimana justru menciptakan ikatan kerapuhan dan saling membutuhkan yang lebih dalam di antara mereka.
Nisa mencoba menjauh, mencoba merenung. Ia membatasi komunikasinya dengan Reza, bukan karena ia tidak lagi mencintainya, tapi karena ia takut. Takut pada dirinya sendiri, takut pada perasaannya yang begitu kuat, takut pada konsekuensi jika rahasia mereka terbongkar. Ia butuh waktu untuk berpikir, untuk menata kembali hatinya, imannya, dan masa depannya.
Ia teringat nasihat Aisha, sahabatnya, untuk jujur pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Ia menginginkan Reza. Itu adalah sebuah kebenaran yang tak bisa lagi ia sangkal. Ia mencintai Reza dengan segenap hatinya, mencintai kebaikannya, kecerdasannya, semangatnya, dan bahkan kerapuhannya. Ia melihat potensi besar dalam diri Reza, potensi untuk menjadi seorang Muslim yang baik, seorang pasangan hidup yang luar biasa.
Namun, di sisi lain, ada keluarganya. Ayah dan ibunya yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, yang telah menanamkan nilai-nilai agama sejak ia kecil. Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan harapan dan perasaan mereka begitu saja? Bagaimana ia bisa menjadi anak durhaka yang memilih jalan yang bertentangan dengan keinginan orang tuanya?
Nisa semakin rajin melaksanakan salat Tahajud, salat malam yang penuh ketenangan. Di keheningan sepertiga malam terakhir, ia mencurahkan semua isi hatinya pada Sang Khalik. Ia menangis, memohon petunjuk, memohon kekuatan. Ia membaca Al-Qur'an, mencari ayat-ayat yang bisa memberinya pencerahan. Ia teringat kembali pada ayat yang pernah ia baca: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
Ayat itu kini terasa memiliki makna yang lebih dalam. Mungkin, hubungannya dengan Reza, yang dari luar tampak begitu berisiko dan penuh tantangan, sebenarnya adalah sesuatu yang baik baginya, sesuatu yang Allah hadirkan untuk sebuah tujuan tertentu. Mungkin, perjalanan Reza menuju Islam adalah bagian dari rencana-Nya. Mungkin, cinta mereka adalah ujian sekaligus karunia.
Ia juga teringat akan diskusi-diskusi Reza tentang apa yang ia pelajari dari Islam. Reza pernah bercerita bagaimana ia terkesan dengan konsep keadilan sosial dalam Islam, tentang bagaimana Al-Qur'an mendorong manusia untuk menggunakan akal dan merenungkan ciptaan-Nya. Kesungguhan Reza dalam belajar, rasa ingin tahunya yang tulus, semua itu menunjukkan bahwa ketertarikannya pada Islam bukanlah main-main.
Perlahan tapi pasti, sebuah keputusan mulai terbentuk dalam diri Nisa. Keputusan yang menakutkan, tetapi juga terasa benar di lubuk hatinya yang paling dalam. Ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia tidak bisa membiarkan rasa takut dan tekanan menghancurkan cinta yang baru saja bersemi dan harapan akan masa depan bersama Reza. Ia harus berjuang. Ia harus mempertaruhkan segalanya.