Faith and Beats

Shabrina Farha Nisa
Chapter #13

Sebuah Awal yang Disucikan

Keputusan Nisa untuk memperjuangkan hubungannya dengan Reza meskipun belum sepenuhnya mendapatkan restu mutlak dari keluarganya, telah memberikan semacam kelegaan dan arah baru bagi mereka berdua. Bagi Reza, keberanian Nisa menjadi pelecut semangat. Jika Nisa, dengan segala risiko yang dihadapinya, berani mempertaruhkan segalanya, maka ia pun harus lebih serius dan sungguh-sungguh dalam perjalanannya sendiri.

Pencarian intelektual Reza tentang Islam terus berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat. Diskusi-diskusinya dengan Yusuf, teman Nisa, menjadi lebih sering dan mendalam. Ia tidak lagi hanya bertanya tentang konsep-konsep dasar, tapi mulai menggali aspek-aspek filosofis, etika, dan bahkan hukum dalam Islam. Yusuf dengan sabar meladeni semua pertanyaan Reza, terkadang mereka berdebat panjang, tetapi selalu dalam suasana saling menghargai. Yusuf tidak pernah memaksa Reza untuk percaya, ia hanya menyajikan informasi, argumen, dan perspektif, membiarkan Reza mencernanya dengan akal dan hatinya sendiri.

Reza juga semakin rajin membaca. Dokumen PDF tentang alasan logis memeluk Islam itu sudah hampir ia hafal di luar kepala. Ia juga mulai membaca buku-buku lain, seperti biografi Nabi Muhammad SAW, tafsir Al-Qur'an untuk pemula, dan buku-buku tentang perbandingan agama. Semakin banyak ia membaca, semakin banyak pula kepingan puzzle yang terasa pas. Konsep keadilan, keseimbangan, tanggung jawab, dan kasih sayang dalam Islam terasa begitu universal dan relevan dengan pencarian makna hidup yang selama ini ia rasakan secara samar-samar.

Ia mulai memahami bahwa kebebasan sejati bukanlah melakukan apapun yang diinginkan tanpa batas, melainkan kemampuan untuk mengendalikan diri, untuk memilih jalan yang benar meskipun sulit, dan untuk bertanggung jawab atas setiap pilihan yang diambil. Islam, dengan segala aturannya, kini tidak lagi ia lihat sebagai kungkungan, melainkan sebagai sebuah kerangka, sebuah panduan yang justru bisa membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu dan kebingungan eksistensial.

Suatu sore, setelah berdiskusi panjang dengan Yusuf tentang konsep Qada dan Qadar (takdir baik dan buruk), Reza duduk termenung sendirian di studionya. Musik EDM yang biasanya memenuhi ruangan itu kini senyap. Ia merasakan ada semacam pergulatan terakhir dalam dirinya. Semua argumen rasional, semua penjelasan logis, semua keindahan filosofis yang ia temukan dalam Islam, kini seolah menuntut sebuah kesimpulan, sebuah keputusan.

Ia teringat Nisa. Cinta dan pengorbanan Nisa. Keberanian Nisa menghadapi keluarganya. Semua itu karena keyakinannya pada Reza, dan juga pada potensi hubungan mereka. Apakah ia pantas mendapatkan semua itu jika ia sendiri masih berdiri di persimpangan, ragu-ragu untuk melangkah?

Reza mengambil secarik kertas dan pena. Ia mulai menuliskan semua poin yang membuatnya tertarik pada Islam, semua pertanyaan yang sudah terjawab, dan semua keraguan yang masih tersisa. Ia mencoba untuk jujur pada dirinya sendiri. Setelah berjam-jam merenung dan menulis, ia melihat kembali daftar itu. Ternyata, kolom "alasan tertarik" dan "pertanyaan terjawab" jauh lebih panjang daripada kolom "keraguan". Dan keraguan yang tersisa pun lebih bersifat teknis atau butuh penjelasan lebih lanjut, bukan sesuatu yang fundamental menolak inti ajaran Islam.

Sebuah kedamaian yang aneh mulai menyelimuti hatinya. Kedamaian yang datang dari kejernihan berpikir, dari keberanian untuk menghadapi kebenaran dalam dirinya sendiri. Ia merasa, inilah saatnya. Bukan karena Nisa, bukan karena tekanan, bukan karena emosi sesaat. Tapi karena ia, Reza Satria, telah menemukan sesuatu yang ia yakini sebagai kebenaran, sebagai jalan hidup yang ingin ia tempuh.

Keesokan harinya, Reza menghubungi Yusuf. "Bro, gue udah mantap," katanya dengan suara yang terdengar lebih tegas dan tenang dari biasanya. "Gue mau syahadat."

Lihat selengkapnya