Faith and Beats

Shabrina Farha Nisa
Chapter #14

Membangun Jembatan dengan Keluarga

Beberapa minggu telah berlalu sejak Reza mengucapkan dua kalimat syahadat. Kehidupan terasa memiliki ritme baru bagi mereka berdua. Reza, menjalani status barunya sebagai seorang Muslim dengan kesungguhan yang gigih. Ia rajin belajar salat, membaca Al-Qur'an dengan bimbingan Yusuf dan Ustaz Rahman, dan terus berusaha memahami ajaran Islam lebih dalam. Perubahan ini tidak hanya bersifat spiritual, tapi juga terpancar dari sikapnya yang terasa lebih tenang dan bijaksana.

Nisa, di satu sisi, merasa sangat bahagia dan bersyukur melihat transformasi Reza. Keyakinan baru Reza seolah menjadi fondasi yang lebih kokoh bagi hubungan mereka. Setelah berdiskusi panjang, Nisa dan Reza sepakat bahwa inilah saatnya untuk kembali mencoba berbicara dengan keluarga Nisa. Dengan status Reza sebagai seorang mualaf, mereka berharap pintu hati Ahmed dan Fatima akan sedikit lebih terbuka. Mereka tahu ini tidak akan mudah. Skeptisisme dan kekhawatiran orang tua Nisa pasti masih ada.

Akhir pekan itu, dengan hati yang berdebar tetapi juga penuh harapan, Reza datang ke rumah orang tua Nisa. Reza sengaja mengenakan kemeja koko berwarna putih bersih yang baru dibelinya, dan Nisa memilih memakai gamis yang lebih sederhana, tetapi tetap anggun. Mereka membawa serta beberapa buah tangan, sebagai tanda itikad baik.

Saat ia tiba, Ahmed dan Fatima menyambutnya di ruang tamu. Suasananya tidak sehangat dulu sebelum konflik terjadi, tetapi juga tidak sedingin saat konfrontasi pertama. Ada semacam formalitas yang canggung. "Assalamualaikum, Pak, Bu," sapa Reza dengan suara yang jelas dan sopan, mencoba tersenyum setulus mungkin. "Wa'alaikumsalam," jawab Ahmed, tatapannya masih sedikit menyelidik. Fatima membalas salam dengan anggukan dan senyum tipis yang sulit diartikan.

"Saya datang ingin bersilaturahmi, dan juga ... ada beberapa hal penting yang ingin kami sampaikan," Nisa memulai pembicaraan, setelah mereka semua duduk. Ia melirik Reza, mencari kekuatan. Reza mengerti. Ia menarik napas pelan. "Pa, Ma,” katanya, menatap Ahmed dan Fatima bergantian. "Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah bersedia menerima Reza di rumah ini." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Beberapa waktu lalu, setelah banyak belajar, merenung, dan dengan hidayah dari Allah SWT, saya telah memutuskan untuk memeluk agama Islam. Saya telah mengucapkan dua kalimat syahadat."

Pengakuan itu, meskipun mungkin sudah sedikit mereka dengar dari Nisa sebelumnya, tetap saja memberikan efek kejut bagi Ahmed dan Fatima. Mereka saling berpandangan. "Kamu ... sudah masuk Islam?" tanya Fatima, nadanya campuran antara tak percaya dan mungkin sedikit harapan. "Benar, Bu. Alhamdulillah," jawab Reza mantap. "Ini bukan keputusan yang saya ambil dengan mudah atau terburu-buru. Ini adalah hasil dari pencarian panjang saya akan kebenaran dan kedamaian."

Ahmed tampak lebih skeptis. "Apa yang membuatmu tiba-tiba yakin dengan Islam, Reza? Bukankah dulu kamu ... berbeda?" Reza memahami arah pertanyaan Ahmed. Ia tahu bahwa orang tua Nisa mungkin curiga bahwa keputusannya ini hanya untuk mendapatkan restu mereka. "Saya tidak akan menampik, Pak, bahwa Nisa adalah orang pertama yang membuka mata saya pada keindahan Islam," Reza memulai penjelasannya dengan jujur. "Cara hidupnya, ketenangannya, keyakinannya yang begitu kuat, semua itu membuat saya ingin tahu lebih banyak."

Ia lalu menceritakan tentang proses pencarian intelektualnya, tentang bagaimana ia membaca dan berdiskusi, tentang konsep-konsep dalam Islam yang menarik logikanya, seperti Tauhid yang murni, argumen tentang keteraturan alam semesta, dan keindahan Al-Qur'an. Ia juga, dengan hati-hati, menyinggung tentang bagaimana Islam menawarkan panduan hidup yang komprehensif dan sistem etika yang kuat, sesuatu yang ia rasakan hilang dalam kehidupannya sebelumnya. (Reza di sini secara tidak langsung merujuk pada tema-tema dari "Alasan Logis Memeluk Islam" yang telah ia pelajari).

Lihat selengkapnya