Faith and Beats

Shabrina Farha Nisa
Chapter #15

Simfoni Dua Jiwa yang Diberkahi

Sebulan berikutnya setelah keputusan Reza untuk memeluk Islam dan upaya mereka membangun jembatan dengan keluarga Nisa adalah periode yang penuh dengan kesibukan, perencanaan, dan juga pembelajaran. Lamaran resmi dari Reza kepada keluarga Nisa, meskipun awalnya diwarnai sedikit ketegangan sisa dari konflik sebelumnya, akhirnya diterima dengan hati yang lebih terbuka oleh Ahmed dan Fatima. Mereka melihat kesungguhan di mata Reza, perubahan positif dalam dirinya, dan yang terpenting, kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan dari wajah putri mereka, Nisa.

Merencanakan pernikahan menjadi sebuah petualangan tersendiri bagi Nisa dan Reza. Mereka berdua menginginkan sebuah perayaan yang tidak hanya menyatukan cinta mereka, tetapi juga menghormati dua dunia yang kini berpadu: keyakinan Islam yang mereka anut bersama, tradisi keluarga Nisa yang kental, sentuhan modern dari latar belakang Reza, dan tentu saja, kecintaan mereka pada musik.

"Jadi, untuk akad nikah, kita akan pakai adat Sunda lengkap sesuai keinginan Mama dan Papa kamu ya, Nis?" tanya Reza suatu sore saat mereka sedang duduk di sebuah kafe, dikelilingi tumpukan brosur vendor pernikahan dan catatan-catatan kecil. Ia kini sudah fasih menggunakan kata "Mama" dan "Papa" untuk merujuk pada orang tua Nisa. Nisa tersenyum, hatinya menghangat. "Iya, Rez. Mama pasti seneng banget. Beliau sudah lama memimpikan aku pakai siger Sunda dan kebaya brokat di hari pernikahanku." "Aku juga nggak sabar lihat kamu pakai itu," kata Reza tulus, matanya menatap Nisa dengan penuh cinta. "Pasti cantik banget. Tapi, aku boleh request sesuatu buat resepsinya nggak?" "Tentu aja, Rez. Ini kan pernikahan kita berdua," jawab Nisa lembut.

Reza mengeluarkan tabletnya, menunjukkan beberapa konsep dekorasi resepsi yang lebih modern, dengan sentuhan lampu-lampu artistik dan tata panggung yang mengingatkannya pada suasana festival musik, tetapi tetap elegan. "Gimana kalau resepsinya kita bikin lebih ... kita? Ada sentuhan tradisionalnya, tapi juga ada area di mana kita bisa nikmatin musik yang kita suka?" Nisa tertawa. "Maksudmu, akan ada booth DJ Rez G di pernikahan kita sendiri?" Reza menyeringai. "Kenapa nggak? Atau setidaknya, kita bisa putar playlist EDM pilihan kita setelah semua prosesi formal selesai. Musik kan bagian dari cerita kita, Nis."

Diskusi-diskusi seperti inilah yang mewarnai persiapan pernikahan mereka. Ada tawar-menawar, ada kompromi, tapi selalu diakhiri dengan pengertian dan senyum. Keluarga Nisa, terutama ibunya, awalnya sedikit khawatir jika resepsinya akan terlalu "kebarat-baratan". tetapi, Nisa dan Reza dengan sabar menjelaskan bahwa mereka ingin menghormati semua pihak. Akan ada area untuk tamu-tamu senior dengan musik yang lebih lembut dan hidangan tradisional, tetapi juga akan ada ruang bagi teman-teman mereka untuk merayakan dengan cara yang lebih modern.

Proses fitting baju pengantin menjadi momen yang emosional bagi Nisa. Saat ia mencoba kebaya brokat berwarna putih gading dengan detail payet yang berkilauan, dipadukan dengan siger Sunda yang megah, air mata haru tak terbendung dari mata Fatima. "Anak Ibu sudah besar," bisiknya sambil memeluk Nisa. Ahmed yang ikut menemani pun tampak berkaca-kaca meskipun ia berusaha menyembunyikannya di balik sikap tegasnya. Reza, yang mengenakan beskap berwarna senada, terlihat begitu gagah dan berbeda dari penampilan kasualnya sehari-hari. Ia menatap Nisa dengan penuh kekaguman. "Kamu benar-benar seperti putri, Nis," pujinya tulus.

Di tengah kesibukan persiapan pernikahan, Nisa dan Reza tidak melupakan aspek spiritual. Mereka semakin rajin beribadah bersama, memperdalam pemahaman agama, dan berdoa agar semua dilancarkan. Beban rahasia dari malam terlarang itu, meskipun masih ada, kini terasa sedikit lebih ringan. Pernikahan ini, bagi mereka, bukan hanya penyatuan dua insan, tapi juga sebuah langkah besar untuk mensucikan hubungan mereka di mata Allah, sebuah bentuk nyata dari taubat dan komitmen mereka untuk membangun rumah tangga yang diridai-Nya.

Malam Midodareni, malam sebelum akad nikah, rumah Nisa dipenuhi oleh sanak saudara. Suasana haru dan sakral begitu terasa. Nisa, yang dipingit di dalam kamar, menerima nasihat-nasihat terakhir dari ibunya dan para sesepuh keluarga. Ia merasa begitu dicintai dan diberkahi. Reza, sesuai adat, tidak diperkenankan bertemu Nisa malam itu. Ia menghabiskan malamnya dengan berdoa dan merenung, mempersiapkan diri untuk mengucapkan ijab kabul esok hari. Ada rasa gugup yang luar biasa, tetapi juga ada kedamaian yang mendalam di hatinya. Ia merasa siap menjadi suami Nisa, menjadi imam bagi keluarganya kelak.

Lihat selengkapnya