Faith and Beats

Shabrina Farha Nisa
Chapter #16

Iman dan Nada

Lima bulan mengubah segalanya bagi Reza Satria: pernikahannya dengan Nisa. Enam bulan sejak ia mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh Nisa, Yusuf, dan Ustaz Rahman. Enam bulan yang terasa seperti sebuah perjalanan roller oaster emosional dan spiritual, penuh dengan pembelajaran, penyesuaian, dan juga kebahagiaan yang tak terhingga. Kehidupan baru sebagai seorang muslim, dan sebagai suami Nisa yang kini secara perlahan mulai diterima oleh keluarganya, telah membawa perubahan besar dalam diri Reza.

Perubahan itu tidak hanya terlihat dari rutinitas ibadahnya yang semakin konsisten – salat lima waktu yang tak lagi ia tinggalkan, puasanya di hari Senin dan Kamis yang mulai menjadi kebiasaan, dan kemampuannya membaca Al-Qur'an yang semakin lancar berkat bimbingan sabar dari Nisa, istrinya, dan juga Ustaz Rahman. Perubahan itu juga terpancar dari auranya. Reza yang dulu terkadang terlihat gelisah dan mencari-cari, kini tampak lebih tenang, lebih damai, dan lebih fokus. Ada semacam cahaya baru di matanya, cahaya keimanan yang tulus.

Namun, mengintegrasikan identitas barunya sebagai seorang Muslim dengan kehidupannya yang telah mapan sebagai DJ Rez G, seorang maestro musik EDM, bukanlah perkara mudah. Inilah tantangan terbesar yang harus ia hadapi sehari-hari. Dunia musik elektronik, dengan segala gemerlap dan kebebasannya, seringkali bersinggungan dengan hal-hal yang kini ia pahami bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

"Gimana, Rez? Siap buat nge-drop beat yang bikin lantai dansa pecah malam ini?" tanya Jason, manajernya, suatu sore di studio Reza. Mereka sedang membahas set list untuk penampilan Reza di salah satu festival musik besar akhir pekan itu. Reza tersenyum tipis. "Siap, Jas. Tapi ada beberapa track yang mau gue revisi sedikit. Mungkin liriknya ada yang terlalu ... vulgar, atau message-nya kurang pas." Jason mengangkat sebelah alisnya. "Revisi? Sejak kapan lo jadi 'sensor musik' gini, Rez? Bukannya biasanya lo paling anti sama yang namanya sensor?" Reza tertawa kecil. "Bukan sensor, Jas. Lebih ke ... penyesuaian. Gue pengen musik gue nggak cuma bikin orang goyang, tapi juga bisa kasih energi positif, atau setidaknya nggak bawa pengaruh buruk."

Ini adalah salah satu perubahan konkret yang mulai Reza terapkan. Ia menjadi lebih selektif dalam memilih lagu yang ia mainkan atau produksi. Ia mulai menghindari lagu-lagu dengan lirik yang terlalu eksplisit, yang mengagungkan hedonisme, atau yang memiliki pesan negatif. Ia bahkan mulai bereksperimen dengan memasukkan unsur-unsur etnik atau melodi yang lebih menenangkan dan sarat makna dalam musiknya, menciptakan perpaduan unik antara dentuman EDM modern dengan sentuhan yang lebih reflektif. Beberapa produser musik lain atau sesama DJ mungkin menganggapnya aneh, tapi Reza tak peduli. Ia merasa ini adalah bagian dari perjalanan barunya, bagian dari usahanya untuk menyelaraskan "iman" dan "nada" dalam hidupnya.

Nisa adalah pendukung terbesarnya dalam proses ini. Ia sering menemani Reza di studio, mendengarkan demo-demo lagu barunya, dan memberikan masukan dari perspektifnya sebagai seorang muslimah sekaligus pencinta berat EDM. "Yang ini keren banget, Rez!" seru Nisa suatu hari, setelah Reza memperdengarkan sebuah track progressive house baru yang memiliki aransemen melodi yang sangat menyentuh, berpadu dengan ritme yang tetap enerjik tetapi terasa lebih "dalam". "Rasanya ... merinding. Ada nuansa yang beda, lebih punya jiwa, tapi tetap asyik buat didengerin." Reza tersenyum lega. "Syukurlah kalau kamu suka. Aku agak khawatir ini bakal kedengeran aneh atau malah jadi kurang EDM-nya." "Nggak sama sekali," kata Nisa tulus. "Ini kreatif banget. Kamu berhasil membawa sesuatu yang baru dan segar ke musikmu, sesuatu yang mencerminkan dirimu yang sekarang."

Kecintaan Nisa pada musik EDM kini terasa lebih bebas dan utuh. Dulu, ia selalu menyembunyikannya, menikmatinya dengan rasa bersalah. Kini, dengan Reza di sisinya, seorang muslim yang juga seorang DJ, ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri. Konflik batinnya yang dulu begitu menyiksa, kini perlahan mereda, digantikan oleh rasa syukur dan kedamaian. Ia tak lagi takut dihakimi. Ia bahkan mulai berani berbagi passion-nya ini dengan beberapa teman dekatnya yang lain, seperti Aisha, yang ternyata juga bisa menikmati beberapa lagu EDM yang lebih ringan setelah Nisa memperkenalkannya.

Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama, tidak hanya untuk belajar agama atau berdiskusi tentang musik, tapi juga melakukan hal-hal sederhana layaknya pasangan lain. Pergi makan malam di warung sate favorit Nisa, nonton film di bioskop, atau sekadar jalan-jalan sore di taman kota sambil menikmati es krim. tetapi, dalam setiap kebersamaan itu, selalu ada sentuhan spiritual yang mewarnainya. Mereka akan berhenti sejenak untuk salat Magrib di musala terdekat jika sedang di luar, atau saling mengingatkan untuk membaca doa sebelum makan. Hal-hal kecil yang membuat hubungan mereka terasa semakin diberkahi.

Lihat selengkapnya