Faith

Aque Sara
Chapter #3

3

"Ini bekas luka, ya?" tanya Catri.

"Iya," jawabku.

"Kenapa?" tanyanya lagi. Matanya membulat, persis seperti orang yang baru pertama kali melihat bekas luka.

"Jatuh dari sepeda."

"Motor?"

"Sepeda BMX⁴. Kejadiannya pas aku masih kecil. SD kelas tiga kalau tidak salah. Belum bisa naik motor waktu itu." Aku merasa perlu memberi sedikit penjelasan perihal bekas luka di lututku.

"Dijahit?"

"Tidak. Cuma dikasih obat merah sama ditempeli tumbukan entah daun apa, lalu diikat dengan sobekan kain."

"Kenapa tidak dijahit?"

"Zaman aku kecil, keluargaku masih menumpang di rumah nenek. Rumah nenek terletak jauh dari rumah sakit. Lagi pula, luka dijahit masih tergolong barang mewah kala itu. Jadi, ya diobati seadanya. Eh, sembuh ternyata." Aku nyengir.

Catri tertawa. "Ya iya. Yang namanya diobati ya pasti sembuh. Tetapi bekas lukanya jadi permanen, ya?"

"Namanya juga pengobatan seadanya." Aku ikut tertawa.

Ah....

Aneh rasanya.

Tiba-tiba aku sudah punya istri. Dan sungguh, terasa aneh. Mungkin karena baru seminggu kami menikah sehingga aku belum terbiasa dengan kehadiran seorang teman hidup.

Catri adalah bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya laki-laki, sudah menikah dan punya satu anak, dan tinggal terpisah dari kedua orang tua Catri.

Dalam tradisi Jawa, anak bungsu seharusnya tetap tinggal bersama orang tua, mewarisi rumah orang tua. Menunggu rumah, begitu orang-orang menyebutnya. Tetapi karena aku merupakan anak tunggal, maka Catri yang akhirnya ikut aku, tinggal bersama kedua orang tuaku.

Aku sekarang masih di rumah Catri. Tetapi hari ini kami akan berangkat menuju rumahku. Kemarin di sini juga diadakan selamatan atau kenduri. Sepasaran manten kata orang-orang.

Aku asli Jawa, namun bukan penggemar berat adat dan kepercayaan Jawa. Wajar jika aku kurang paham tentang segala macam tetek bengek adat dan kepercayaan Jawa. Tetapi apapun itu, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama yang kuanut dan tidak mengandung unsur khurafat, insyaallah aku bisa menerimanya.

Dulu Ayah memaksaku menikah dengan Catri serta mengancam mengusirku jika aku menolak. Aku sangat marah waktu itu. Setelah pertengkaran dengan Ayah, malam harinya aku menyiapkan rencana untuk minggat.

Aku meng-googling situs-situs jual beli dan sewa-menyewa rumah termasuk tempat indekos. Setelah kuhitung-hitung, tabunganku cukup untuk biaya hidup selama enam bulan, juga untuk membayar sewa rumah sederhana. Kalau mau lebih hemat, indekos bisa dijadikan alternatif.

Aku juga akan bekerja keras, pekerjaan apapun, agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menabung. Aku bahkan sudah menyiapkan pakaian seperlunya dan peralatan mandi, kumasukkan ke dalam tas ransel.

Tetapi….

Rencana tersebut tidak pernah kulakukan. Kenapa? Alasan yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Ibu adalah kelemahan terbesarku. Air matanya kembali mengalahkanku, membuatku lagi-lagi terpaksa tunduk terhadap kemauan Ayah. Tidak tega rasanya meninggalkan Ibu sendirian. Kepergianku pasti menyebabkan Ayah murka, dan Ibu yang akan menjadi sasaran jika Ayah mengamuk.

Alhasil, aku menerima perjodohan itu. Aku menikah dengan Catri. Entah keputusanku benar atau salah. Entah akan seperti apa kehidupan rumah tanggaku.

Lihat selengkapnya