"Nimo jarang terpakai sekarang, Gun."
"Iya. Aku malas naik Nimo jika Catri membonceng. Bahu dan tanganku pegal," jawabku jujur
Nimo yang dimaksud adalah Ninja RR Mono—atau sekarang Ninja 250 SL. Dulu belinya patungan. Sekitar 30 persen memakai uang tabunganku, sedangkan sisanya memakai duit Ayah. Sudah dua tahunan menjadi tongkronganku.
Dan memang iya. Mengendarai Nimo lebih enak sendirian daripada sambil membawa Catri. Riding position yang membungkuk, jok belakang yang lebih tinggi daripada jok depan, ditambah Catri yang selalu memelukku selama perjalanan, sungguh membuat bahu dan tanganku pegal.
Cuma sekali Catri membonceng naik Nimo, yakni hari pertama dia tinggal di sini, ketika kami berdua jalan-jalan sore ke Stadion Kanjuruhan. Catri bilang, dia belum pernah mengunjungi stadion tersebut. Jangan tanya soal Arema. Bukan maniak bola dia.
Dan orang yang berbicara denganku namanya Lukman. Dialah teman mainku sewaktu kecil—yang kini menjadi rekan kerjaku.
Dulu kami bersekolah di SD yang sama, satu kelas, bahkan satu bangku pula, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Lulus SD, aku melanjutkan ke SMP Negeri di kecamatan sebelah sedangkan dia memilih ke MTs⁷. Saat aku mendaftar SMA, dia justru dikirim orang tuanya ke sebuah pondok pesantren di Jombang.
Sekarang, setiap jam setengah lima sore, dia mengajar anak-anak kampung mengaji. Selain itu, dia juga menjadi imam salat di musala dekat rumah.
Dia pulalah, secara tidak langsung, salah satu sebab sehingga aku bersedia menikah dengan Catri—selain air mata ibu tentunya. Penjelasannya tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad mampu memberiku perspektif baru.
Waktu itu, di musala seusai salat Magrib, kepada Lukman aku bercerita tentang ayahku yang ingin menjodohkanku dengan Catri. Katanya waktu itu, "Di dalam ajaran Islam, kita diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua. Salah satu caranya adalah dengan membahagiakan mereka. Jika ayah dan ibumu bahagia melihat kamu menikah, kenapa kamu tidak menikah?"
Belum sempat aku menjawab, dia mengutip salah satu ayat Al-Qur'an, yakni surah An-Nur ayat 32, "Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui."
"Nah, berdasarkan ayat itu, bukankah ayahmu justru sedang melaksanakan perintah Al-Qur'an?" tanyanya sambil membereskan rehal⁵ yang sebelumnya dipakai anak-anak belajar mengaji.
"Tetapi aku tidak mencintainya. Kenal dekat saja belum."
"Nah, itu dia kebiasaan burukmu. Bukannya menjawab pertanyaan, malah bertanya."
"Oke. Anggaplah ayahku sedang melaksanakan perintah Al-Qur'an surah An-Nur ayat 32 barusan. Tetapi, MAAAN, aku tidak mencintai gadis itu."
Lukman malah cekikikan. "Cinta, untuk ukuran manusia seperti kita, tidak jauh dari yang namanya birahi. Dan meskipun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam punya banyak istri, tidak satu pun dari pernikahan beliau yang didasarkan pada birahi…."
Selanjutnya, Lukman menceramahiku tentang sebab-sebab Nabi Muhammad berpoligami. Aku mendengarkan sambil sesekali menguap lebar. Beberapa malam sebelumnya, aku sukar tidur karena terlalu banyak pikiran.