Faith

Aque Sara
Chapter #5

5

"Mas, aku pinjam motor, ya? Mau mengantar Ibu ke pasar."

"Motor yang mana?"

"Yang matic, lah."

"Oke. Hati-hati."

"Beres."

Catri berlari-lari kecil ke garasi. Sementara aku melanjutkan menonton cuplikan balap motor Isle of Man TT di YouTube.

"Catri mana, Gun?" Ibu muncul dari ruang tamu.

"Masih mengambil motor. Ibu mau ke pasar mana?"

"Pasar Lor." Ibu menunjuk.

Pasar Lor terletak di kecamatan sebelah. Jaraknya sedikit jauh. Sebenarnya di sebelah selatan rumahku juga terdapat pasar. Jaraknya dekat. Tetapi berhubung pasarnya kecil, maka jika ingin berbelanja banyak barang dengan banyak pilihan, Pasar Lor lebih cocok.

"Helmnya dipakai, Bu. Jangan ditenteng. Keselamatan nomor satu," kataku mengingatkan.

"Iya, Ibu pakai."

"Ayo, Bu." Catri sudah duduk di jok, lengkap dengan helm di kepala.

"Ibu ke pasar dulu, Gun."

"Hati-hati, Bu."

Ibu tersenyum dan mengangguk. Aku ikut tersenyum, menghela napas ringan.

Hari Minggu, masih jam setengah tujuh pagi. Cuaca cerah. Jalan raya di depan rumah lumayan ramai, namun tidak padat. Aku duduk di teras depan, menikmati secangkir kopi sambil merokok—sekaligus menonton YouTube.

Sejak menikah, aku tidak bisa leluasa merokok. Catri selalu mengomel kalau aku merokok di dekatnya, mengusirku jauh-jauh. Kata dia, orang yang merokok baunya aneh. Ya begitulah kalau punya istri. Selalu ada yang bawel.

Kicauan burung-burung terdengar sahut-menyahut. Beberapa asyik bertengger di atas kabel listrik di pinggir jalan, sementara sisanya berloncatan di dahan-dahan pohon di depan rumah.

Sekadar informasi, meskipun aku tidak bekerja di sektor formal, namun setiap hari Minggu aku dan Lukman juga memutuskan libur agar punya waktu senggang untuk keluarga atau melakukan aktivitas lain. Jenuh jika setiap hari harus berurusan dengan kayu.

Aku menyeruput kopiku. Terasa nikmat di lidah.

Pagi ini benar-benar damai.

Ayah semalam tidak tidur di rumah. Sudah biasa begitu. Kadang tidur di rumah, kadang di rumah Mak Mi. Tidak masalah karena, minimal, dapat mengurangi intensitas pertengkaranku dengannya.

Kalau bersangkut paut dengan Ayah, aku dan Ibu berbeda jauh. Ibu bisa begitu sabar menghadapi Ayah, tidak pernah membantah. Sungguh, menurutku, Ibu adalah sosok wanita Jawa yang sanggup menjunjung tinggi adat dan kepercayaan yang serba patriarki.

***

Tanpa terasa, sudah genap enam bulan usia pernikahanku. Boleh dibilang, semuanya masih baik-baik saja. Pertengkaran kecil karena alasan sepele kadang memang terjadi. Tetapi bukankah itu lumrah dalam kehidupan berumah tangga?

Dan sejauh ini, riak terbesar dalam kehidupan rumah tanggaku adalah ketika aku menemukan kalung berbandul taring babi itu.

Aku sangat marah, benar-benar marah waktu itu.

Lihat selengkapnya