Setahun berlalu sejak aku menikah dengan Catri. Sejauh ini, faktanya, hubungan kami tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Dalam banyak hal masih kaku, seolah ada batas diantara kami. Terkadang aku merasa bahwa kami adalah dua orang asing yang kebetulan tinggal di bawah satu atap.
Siapa aku? Siapa dia?
"Gun, Ibu mau pergi sebentar bersama Catri."
"Ke mana, Bu?"
"Melihat bayi." Catri yang menjawab.
"Bayi?" Aku mengernyitkan dahi.
"Iya. Empat hari yang lalu anaknya Mbok Supi kan sudah melahirkan. Bayinya perempuan." Ibu tersenyum.
Mbok Supi adalah tukang pijat langganan Ibu. Rumahnya terletak satu desa dengan kami, cuma berbeda kampung. Dulu anaknya menikah hanya selang sebulan setelah pernikahanku dengan Catri. Sudah punya bayi rupanya.
"Bawa motor?" tanyaku.
"Iya, lah. Tempatnya kan lumayan jauh." Catri yang menjawab sambil memasukkan entah selimut atau apa ke dalam tas kresek berwarna hitam.
"Memangnya kamu tahu rumahnya Mbok Supi?"
"Tahu dong, Mas. Kan aku pernah mengantar Ibu ke sana."
"Itu apa?" Aku menunjuk tas kresek.
"Selimut bayi, buat cucunya Mbok Supi yang baru lahir itu." Ibu yang menjawab.
"Ibu membeli selimutnya kapan?"
"Tiga hari yang lalu, diantar Catri."
"Ayo, Bu, berangkat." Catri sudah berdiri, menenteng tas kresek.
"Nanti kalau kamu mau ke musala buat salat Isya dan ternyata Ibu belum balik, rumahnya kamu kunci saja. Ibu sudah membawa kunci sendiri. Ayahmu sudah bilang ke Ibu kalau pulangnya malam."
Aku mengangguk. "Hati-hati."
"Oh, iya," Ibu berhenti sebelum melewati bingkai pintu, menoleh kepadaku, "yang di kamar jangan lupa ya, Gun."
Aku mendesah pelan meskipun pada akhirnya mengangguk.
Maksud Ibu adalah sesajen. Bagi sebagian orang Jawa, menyediakan sesajen di hari-hari tertentu dan ditujukan untuk kerabat yang telah meninggal adalah wajib. Paling sering, Ibu menyediakan bubur merah, kembang kenanga, dan dupa. Kalau Ayah kebetulan sedang tidak ada di rumah, akulah yang kemudian diminta Ibu menjadi Tukang Ujub⁸.
Dulu aku tidak masalah melakukannya. Tetapi setelah tahu bahwa menyediakan sesajen untuk arwah bukan termasuk ajaran Islam, aku tidak pernah lagi melakukannya.
Biasanya aku masuk kamar yang dimaksud Ibu—kamar tempat Ayah menyimpan keris-keris dan benda-benda berbau klenik lainnya—dan menutup pintunya, lalu duduk di depan sesajen yang telah disediakan, namun tidak melakukan apapun. Hanya duduk diam sambil memperhatikan apalah, dan sekitar tiga menit kemudian keluar, berpura-pura telah menyelesaikan apa yang diminta Ibu. Aku terpaksa berbohong karena tidak sanggup mendebat Ibu.
Maafkan aku, Ibu.
***