Faith

Aque Sara
Chapter #8

8

"Kalau memang keberatan menikah denganku, kenapa dulu tidak berterus terang agar kita bisa mencari cara untuk membatalkan perjodohan itu? Jujur, aku merasa sebagai istri yang tidak diinginkan. Sakit, Mas," begitu bunyi pesan yang dikirim Catri melalui WA, sehari setelah kepergiannya dari rumah.

Jika kubilang bahwa hubungan kami baik-baik saja, maka itu adalah dusta besar. Hubungan kami jelas tidak sedang baik-baik saja. Malah dari awal, hubungan kami sebenarnya tidak pernah baik-baik saja.

Mungkin bagi Catri hubungan kami baik-baik saja karena dia ikhlas menerima perjodohan itu. Tetapi berbeda denganku yang menikahi Catri karena terpaksa.

Selama ini, kehidupan rumah tanggaku tidak ubahnya seperti panggung sandiwara. Dan akulah pemeran utama dalam panggung sandiwara itu. Aku, pemeran utama sekaligus sutradara.

Ya Allah....

Di rumahnya, sambil menangis, Catri menceritakan semua kejadian kepada Mak Asih dan Pak Mus. Bahkan Pak Mus ikut menangis memeluk Catri. Aku tahu karena Mak Asih dan Pak Mus kemarin datang ke sini untuk berbicara—dari hati ke hati katanya—denganku dan kedua orang tuaku.

Kepada mereka berempat—Ayah, Ibu, Mak Asih, dan Pak Mus—aku bicara apa adanya tanpa ada lagi yang kututup-tutupi.

"Sabar ya, Gun. Pada dasarnya, setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Meskipun terkadang, apa yang baik menurut orang tua belum tentu baik untuk anak. Sekarang semuanya terserah kamu. Ayuk juga sudah bilang kalau dia akan menuruti apapun keputusan kamu," kata Pak Mus. Pipinya basah oleh air mata.

Mak Asih lebih banyak diam, juga dengan pipi yang basah oleh air mata. Ayah hanya sesekali terdengar menghela napas panjang, tidak langsung emosi seperti biasanya, tidak pula berkomentar. Hanya Ibu yang sama persis seperti biasanya, duduk menunduk sambil memijit-mijit lutut.

"Ibu tahu Catri bukan sosok perempuan yang kamu idam-idamkan. Tetapi dia sangat baik sama Ibu, tidak pernah keberatan menemani Ibu kemanapun," kata Ibu setelah Mak Asih dan Pak Mus pulang, sedangkan Ayah entah ada di mana.

"Untuk ukuran wanita Jawa, Gun, Catri sudah sangat baik sebagai istri. Sudah memenuhi kriteria konco wingking⁹ sekaligus sigaraning nyowo¹⁰. Setidaknya begitu menurut Ibu. Ibu paham kalau penilaian kamu sudah pasti berbeda dengan penilaian Ibu. Tetapi tolong kamu pikirkan dengan kepala dingin, Gun. Pertimbangkan baik buruknya keputusan kamu." Ibu mengusap air matanya. Air mata yang selama ini selalu membuatku kalah.

Tetapi, haruskah aku terus-menerus kalah oleh air mata Ibu?

***

"Bukan maksudku ikut campur urusan rumah tangga kamu. Tetapi sebagai teman, aku juga ikut pusing Gun," kata Lukman.

Sehabis salat Isya, kami berdua duduk di teras rumah Lukman. Di dalam rumah, anak dan istri Lukman tengah menonton TV.

"Terima kasih sudah ikut pusing. Nanti, lah, aku belikan Bodrex di warung depan," sahutku antara serius dan bercanda.

Lukman tertawa. "Aku tidak butuh Bodrex, Gun. Dan aku yakin kamu juga tidak butuh. Kalau Bodrex bisa menyelesaikan masalah rumah tangga, mustahil ada KDRT dan perceraian."

Kami saling pandang sejenak, lalu tertawa bersama. Bercakap-cakap dengan Lukman selalu menyenangkan. Dan, sungguh, aku sangat bersyukur punya teman seperti dia.

"Kopinya, Gun."

Kami pun menyeruput kopi masing-masing—tadi istri Lukman yang bikin.

"Kalau menurutku, Catri sebenarnya sudah banyak berubah. Buktinya, dia terkadang ikut salat bersamamu, kan? Meskipun belum lima waktu, itu tetap sebuah kemajuan, Gun."

Aku mengangguk mengiyakan.

Dulu pernah aku bertanya kepada Catri mengenai kenapa dia tidak salat. Dengan enteng, Catri menjawab, "Kata ibuku, orang kalau sudah berani salat, akhlaknya harus baik, tidak boleh berbuat dosa. Kalau sudah salat tetapi masih berbuat dosa, dosanya justru akan semakin berlipat ganda. Karena itu aku dan keluargaku tidak salat. Daripada nanti dosanya malah berlipat-lipat. Mustahil ada orang yang tidak berbuat dosa."

Lihat selengkapnya