"Gun, ayahmu tadi jatuh di saluran irigasi," kata Pak Ramlan setengah berteriak.
Aku dan Lukman yang tengah sibuk mengamplas kayu spontan menoleh bersamaan. Ibu tergopoh-gopoh muncul dari ruang tamu.
"Ada apa, Pak?" tanya Ibu.
"Anu, Bu, ayahnya Guntur jatuh di saluran irigasi."
"Kok bisa? Jatuh bagaimana?" Ibu tampak panik.
"Saya juga kurang tahu. Mungkin terpeleset atau apa, tiba-tiba jatuh."
"Bagaimana keadaan Ayah, Pak?" Dengan intonasi datar, aku akhirnya ikut bersuara meskipun mungkin cuma sekadar basa-basi. Sudah sejak lama aku kehilangan respek terhadap Ayah. Ada banyak hal mengenai Ayah yang tidak kusukai.
"Sekarang masih istirahat di pondok. Tadi sama orang-orang dipapah ke pondok. Untung saluran irigasinya kering. Kalau tidak, bisa kotor sekujur badan ayahmu, Gun."
"Kamu sekarang susul ayahmu, Gun. Lihat keadaannya." Ibu memegang lenganku.
Aku mengangguk, bergegas mengambil motor di garasi.
"Pak Ramlan mau balik ke sawah?" tanyaku sebelum memutar handel gas.
Pak Ramlan mengangguk. "Ya iya. Wong tadi saya ke sini meminjam motor ayahmu kok. Sepeda Onthel saya ya masih di sawah sana."
"Ya sudah, Pak. Ayo berangkat."
***