"Gun, tadi Ayahmu jatuh lagi." Ibu mendekatiku yang masih menuntun sepeda ke garasi.
Aku mendengus pelan. "Ya sudah, Bu, nanti dibawa ke dokter."
Setelah sepeda terparkir, aku langsung menuju ke kamar mandi. Tidak sedikit pun terlintas di benakku untuk bertanya bagaimana Ayah jatuh atau jatuhnya di mana.
Dengan dibujuk Ibu dan setelah berdebat kecil denganku, Ayah bersedia pergi ke dokter. Bakda Magrib aku mengantar Ayah ke dokter di desa kami.
"Bapak menderita strok ringan. Untuk pemeriksaan yang lebih intensif, saya sarankan Bapak pergi ke rumah sakit," kata Dokter setelah beberapa saat memeriksa Ayah.
Aku tidak bereaksi apapun. Bahkan terkejut pun tidak. Untuk ukuran orang dengan pola hidup kurang sehat seperti Ayah, ditambah emosinya yang suka meledak-ledak, menurutku wajar jika sekarang Ayah terkena strok.
Sepulangnya dari dokter, aku segera bercerita kepada Ibu tentang strok yang diderita Ayah. Aku juga memberi tahu Ibu agar Ayah secepatnya pergi ke rumah sakit.
"Tidak usah ke rumah sakit. Cuma strok ringan, kan? Lama-lama juga akan sembuh sendiri. Dokter tadi juga bilang kalau Ayah harus mengubah pola hidup. Hidup sehat, banyak makan sayuran hijau, dan sebaiknya berhenti merokok. Begitu, kan? Sok tahu. Mentang-mentang dokter, sedikit-sedikit rumah sakit. Seenaknya saja memerintah orang. Apa dia pikir Ayah ini kambing sehingga harus terus-terusan makan sayuran hijau?" Ayah melengos.
Ibu hanya mengelus dada, tidak bisa berkata-kata. Aku langsung pergi ke musala, malas berkata-kata. Lagi pula sebentar lagi sudah masuk waktu Isya.
Sesaat sebelum melewati bingkai pintu, aku melirik Ayah.
Ayah, dalam keadaan seperti ini pun, tetap tidak berubah. Entah apa yang akan bisa membuatnya berubah.
***