"Kok Mas Guntur tidak bilang kalau Ayah terkena strok?" tanya Catri sedikit melotot.
"Ya ini kan sudah bilang." Aku nyengir lebar.
Catri gemas mencubit lenganku. Aku mengaduh pelan, namun sejenak kemudian tertawa.
"Mas Guntur memang selalu begitu." Catri manyun.
Aku tidak menjawab. Diam menurutku lebih baik. Masa iya mesti berantem. Padahal baru kemarin Catri pulang ke rumah.
Seminggu lalu, sepulang dari rumah Lik Lan, aku menginap di rumah Catri. Di dalam kamar, kami mengobrol hingga lewat jam dua.
Awalnya sulit. Sangat sulit. Kami berbaring telentang, menatap langit-langit kamar tanpa sedikitpun berkata-kata, diam dengan pikiran masing-masing.
Tepat jam satu, aku bertanya apakah dia sudah tidur atau belum, dan dia menjawab belum. Aku lantas meminta maaf. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya juga bilang maaf kepadaku. Dan begitulah, segalanya kemudian mengalir seperti air.
Aku juga mengajaknya pulang. Tetapi katanya, "Seminggu lagi ya, Mas? Warung lagi ramai-ramainya sekarang. Aku masih mau bantu-bantu di sini dulu."
Tentu saja aku mengiyakan. Jangan sampai perdamaian yang baru terwujud menjadi hancur berantakan.
Beberapa hari sebelumnya, Lukman menasehatiku agar melakukan salat Istikharah. Dan, iya, aku melakukannya. Usai salat, karena sulit tidur, aku memutuskan menonton ceramah di YouTube, yang temanya berhubungan dengan masalah rumah tangga.
Soal channel YouTube dan nama ustaz tidak perlu kusebutkan. Yang pasti, ceramah itu membahas tentang bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan istri. Sang Ustaz membacakan salah satu ayat Al-Qur'an, yakni surah An-Nisa ayat 19.
Nah, kalimat di ujung ayat itulah yang seketika membuatku ternganga, "Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya."
Dan, sungguh, air mataku menetes.
Kalimat itu....
Seolah-olah Allah sedang berbicara kepadaku.
Allah sedang mengingatkanku, menasehatiku.
Sungguh air mataku menetes.