Faith

Aque Sara
Chapter #12

12

Bulan demi bulan berlalu, Ayah akhirnya masuk rumah sakit.

Sebenarnya sudah sejak dua bulan terakhir Ayah mengeluhkan kaki kirinya yang sering kesemutan dan mati rasa. Kemarin Ayah tiba-tiba terjatuh di halaman rumah. Sambil meringis bilang kalau kaki kirinya terasa sakit.

Setelah melalui berbagai macam pemeriksaan dan uji laboratorium, Ayah dinyatakan menderita strok iskemik. Dokter menyayangkan Ayah yang terlambat berobat ke rumah sakit. Seandainya dulu Ayah langsung bersedia ke rumah sakit, dokter masih bisa memberikan obat-obatan tertentu. Sayangnya sekarang sudah terlambat. Obat-obatan tidak dapat membantu banyak. Satu-satunya jalan untuk mengobati Ayah adalah dengan melakukan operasi.

Dokter sudah menjelaskan semua itu, ke aku dan Ibu, juga ke Ayah. Tetapi, ah, dasar Ayah memang sontoloyo! Dia menolak mentah-mentah saran dokter, bilang kalau ingin menjalani pengobatan alternatif saja.

"Saya sebagai dokter cuma menyarankan. Tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan Bapak." kata Dokter sambil menggeleng-gelengkan kepala pelan.

Akhirnya, Ayah hanya bertahan selama semalam. Pagi hari sebelum rumah sakit dibuka untuk pengunjung, dia memaksa pulang sambil memaki-maki makanan yang diberikan suster, yang katanya hambar lah, tidak enak lah, macam makanan kambing lah, dan bla bla bla seterusnya....

***

Berbagai macam pengobatan alternatif yang dilakoni Ayah ternyata tidak membuahkan hasil sama sekali, justru strok yang dideritanya semakin parah. Tidak sedikit orang yang memberi saran. Disuruh berobat ke sana kemari, minum herbal ini dan itu, dan sudah kami lakukan. Hasilnya? Nihil.

Ayah sekarang semakin kesulitan berjalan. Bibirnya sedikit mencong. Bicaranya terkadang tidak jelas seperti orang cadel, dan terbata-bata setiap kali mengucapkan kalimat.

Sejak pulang dari rumah sakit waktu itu, Ayah praktis tidak bisa ke mana-mana sendiri. Tidak bisa naik motor, apalagi menyetir. Untuk pergi berobat, kami terpaksa selalu merepotkan teman, kerabat, atau tetangga yang bisa menyetir guna mengantar Ayah.

Ah, seandainya dulu Ayah mengizinkanku belajar menyetir atau kursus mengemudi.

Ayah memang paranoid.

***

"Mas!" teriak Catri. Aku dan Lukman sedang bekerja di bengkel sangkar burung.

"Iya… iya, habis ini… iya… langsung ke sana. Sudah… iya…." Catri mendekatiku sambil masih bicara di telepon—mungkin dengan Mak Asih.

"Mas, kita melayat sekarang. Nenek meninggal."

"Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un," ucapku dan Lukman serempak.

Aku segera bangkit dari tempat duduk. "Ibu sudah tahu?"

"Biar kukasih tahu sekarang. Mas Guntur lekas bersiap-siap." Catri melangkah tergesa-gesa ke luar bengkel.

Aku berpikir sejenak, lalu berkata kepada Lukman, "Tolong titip Ayah. Kemungkinan besar Ayah tidak akan ikut melayat. Aku akan membonceng Ibu, sedangkan Catri biar membawa motor sendiri."

Lihat selengkapnya