Entah apakah aku masih membenci Ayah atau tidak. Yang pasti, melihat kondisi Ayah seperti sekarang, aku juga merasa iba. Semenyebalkan apapun sikap dan perangainya, Ayah tetaplah ayahku.
Sebenarnya sebagai anak, adalah kewajibanku untuk merawat Ayah. Tetapi mengingat dia yang terkadang masih suka membentak Ibu, biar Ibu saja yang mengurus Ayah. Mungkin memang cuma Ibu yang bisa tahan dan sabar menghadapi orang seperti Ayah.
***
"Coba dibawa ke Mbah Wiro, Gun. Siapa tahu berjodoh," kata Mak Mi. Dia datang menjenguk Ayah, sekalian kulakan di Pasar Lor.
"Mbah Wiro siapa?" Aku mengernyitkan dahi. "Dukun?"
"Hus, kamu itu. Tidak sopan." Mak Mi mengibaskan tangan. Orangnya memang sebelas dua belas dengan Mak Asih. Lebih mengagung-agungkan klenik daripada hal-hal medis.
Mak Mi mencondongkan badan ke arahku, setengah berbisik bilang, "Mbah Wiro itu orang yang dituakan. Semacam Wali."
"Masa iya." Aku menyeringai. "Siapa yang memberi gelar 'Wali'?"
"Ya kata orang-orang."
"Baru kata orang-orang, kan?"
"Ya tidak ada salahnya to mencoba. Wong namanya berobat, kok. Sah-sah saja."
"Tetapi kalau caranya menyalahi syariat?"
"Oalah, Gun. Menyalahi syariat apa—"
"Syariat Islam, lah." Sengaja aku memotong.
Mak Mi mendengus pelan, mulai jengkel kelihatannya. "Tidak menyalahi syariat, Gun. Semua agama sama, cuma cara beribadahnya yang berbeda."
Nah, ini keblingernya orang-orang. Menganggap semua agama sama. Bagaimana bisa dikatakan sama jika yang disembah saja berbeda-beda.
Apakah Allah sama dengan Sidharta Gautama? Apakah Sidharta Gautama sama dengan Yesus Kristus? Apakah Yesus Kristus sama dengan Trimurti? Apakah Trimurti sama dengan Bunda Maria? Apakah Bunda Maria sama dengan Dewa Langit, Dewa Bumi, Dewa Matahari, dan dewa-dewa lainnya? Jelas tidak, kan? Lantas, kenapa harus disama-samakan padahal hakikatnya berbeda?