Faith

Aque Sara
Chapter #15

15

Waktu berlalu, dan kehamilan Catri sudah menginjak usia enam bulan. Semakin cerewet dan banyak maunya. Terkadang tengah malam dia membangunkanku, memintaku menggosok-gosok punggungnya.

Kemarin kami belanja di minimarket. Saat mengantri di kasir, Catri terus menatap seorang bapak-bapak yang sedang melihat-lihat barang di rak. Dia lantas menarik lenganku, berbisik, "Mas, Si Kecil ingin mengelus-elus jenggotnya bapak itu."

Astaga! Aku menepuk dahi, tidak peduli. Selesai membayar belanjaan, aku segera menarik Catri ke luar. Di tempat parkir, Catri menoleh ke belakang, kembali memperhatikan bapak itu.

"Mas! Sebentar saja, lho. Ya?"

Untuk kedua kalinya, aku menepuk dahi, mendesah pelan. "Kamu bilang sendiri ke orangnya, ya? Aku tunggu di sini—"

Belum tuntas kalimatku, Catri sudah berlari-lari kecil, kembali masuk ke minimarket. Dia mendekat ke Si Bapak, menyapa, bicara sopan sambil menunjuk-nunjuk perutnya dan, eh, Si Bapak langsung membungkuk, membiarkan Catri mengelus-elus jenggot panjangnya.

Catri menoleh kepadaku, nyengir lebar sekali. Satu-dua pengunjung minimarket melongok penasaran. Mbak-mbak penjaga kasir tersenyum simpul, ikut menoleh kepadaku. Tentu saja penjaga kasir itu tahu kalau aku adalah bapak si jabang bayi.

Akhirnya, aku terpaksa nyengir kuda.

***

"Mas…."

Aku menoleh. Catri menunduk, urung bicara. Ah, jangan-jangan ngidam yang aneh-aneh lagi.

Aku masih menunggu.

"Mas, kalau boleh, aku tinggal di rumah orang tuaku, ya? Cuma sementara. Nanti balik ke sini kalau bayinya sudah berumur satu bulan."

"Kenapa harus tinggal di sana?" Aku beranjak duduk, dan sembarangan meletakkan smartphone di atas kasur.

"Aku sudah hamil enam bulan. Di sini Ayah tengah sakit. Ibu sibuk mengurus Ayah. Aku tidak mau menambah beban mereka, Mas. Jangan salah sangka, lho. Aku tahu Mas Guntur bisa mengurus aku. Tetapi…."

Catri diam, kembali menunduk. Aku menghela napas, tersenyum.

"Tetapi apa?"

Catri menelan ludah, menatapku. "Tetapi aku kasihan sama Ibu, Mas. Setiap hari Ibu harus memasak sendiri. Mas Guntur kan tahu kalau sejak hamil aku jadi gampang mual, tidak bisa membantu Ibu memasak. Terus…."

Diam lagi dia, menunduk lagi.

"Terus… di sini aku juga terkadang merasa kesepian. Mas Guntur bekerja. Ibu sibuk menemani Ayah. Aku jadi sendirian. Sedangkan di rumah orang tuaku, di sana kan selalu ramai, Mas. Mbak Lian dan Ajeng setiap siang hari di sana. Tetangga berdempetan. Rumah Mas Dika dan Mbak Lian juga dekat. Jadi kalau ada apa-apa, aku tidak bingung. Sementara di sini, iya kalau Mas Guntur pas ada di rumah. Lha kalau misalnya Mas Guntur kebetulan sedang ada urusan di luar rumah, aku minta tolongnya sama siapa. Ayah sakit, dan aku tidak tega merepotkan Ibu."

Aku tersenyum, tidak menyangka Catri akan berpikir sampai sejauh itu.

"Aku sudah bilang ke Ayah dan Ibu. Ibu menyuruhku bertanya kepada Mas Guntur. Tadi malam aku juga menelepon orang tuaku, dan mereka setuju."

Lihat selengkapnya