"Keadaan di sawah bagaimana, Gun," tanya Ayah lirih.
"Belum bisa ditanami. Sawah-sawah yang lain juga sama. Sungai untuk irigasinya kering, kan?"
Ayah mendesah, meletakkan kepala pada sandaran sofa.
Aku tahu Ayah sangat sedih. Sejak berhenti menjadi preman dan paranormal, bertani merupakan satu-satunya keahlian Ayah. Dia bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya di sawah daripada di rumah, mengawasi para buruh tani yang bekerja menggarap sawah-sawah milik Ayah. Jika di sawah kebetulan sedang longgar, Ayah biasanya suka duduk-duduk di pondok sambil memandangi hamparan tanaman padi miliknya, atau sekadar mengobrol dengan sesama petani. Satu-satunya pekerjaan di sawah yang sering Ayah lakukan adalah melakukan pengairan.
"Mau ke mana?" tanyaku.
"Duduk di teras."
Aku membantu Ayah berdiri dan mengambilkan tongkat bambu, menuntunnya ke teras, tempat favorit Ayah sejak menderita strok.
***
"Masker, Bu," kataku.
"Ini anjuran pemerintah seperti yang di TV itu ya, Gun?"
Aku mengangguk, membantu Ibu memakai masker. Seumur-umur, Ibu belum pernah mengenakan masker.
"Ibu bernapasnya jadi kurang nyaman, Gun," keluh Ibu.