Akhirnya, hari yang dinanti-nanti itu pun tiba. Semalam Catri mengirim pesan melalui WA. Isinya, "Mas, perutku sejak sore terasa melilit. Tadi aku menelepon bidan kandungan di desaku. Bidan menyuruhku ke tempat praktiknya. Aku berangkat bersama Ibu, Mas Dika, dan Mbak Lian. Setelah diperiksa ternyata sudah bukaan empat. Mas Guntur ke sininya besok pagi saja. Sekarang sudah lewat jam sebelas. Doakan lancar ya, Mas."
Tuntas membaca pesan itu, aku langsung berdoa. Isinya, "Ya Allah, jika Engkau memang mengizinkan anakku terlahir ke dunia, sudilah kiranya Engkau menjaga dia agar tetap berada di jalanMu yang lurus, agar dia tidak menjadi seorang ahli bid'ah¹⁸ dan khurafat. Amin"
Kemudian sambil berbaring, aku melantunkan Qur'an surah As-Saffat ayat 100, yang artinya, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh."
Entah sampai berapa kali aku melantunkan ayat itu, dengan air mata yang terus mengalir, hingga aku tertidur pulas.
***
"Semoga persalinannya lancar, Gun," kata Ibu.
"H—hati-hati," kata Ayah sedikit terbata.
Aku segera memutar handel gas setelah bilang "assalamu'alaikum" kepada Ayah dan Ibu—sejak beberapa hari terakhir, alhamdulillah, Ayah mulai terbiasa mengucapkan dan menjawab salam.
Nimo melaju di jalanan yang tidak terlalu padat kendaraan karena memang baru pukul lima pagi. Semburat kekuningan tampak di langit sebelah timur.
Setelah sekitar setengah jam perjalanan, aku sampai di tempat praktik bidan yang dimaksud. Tempat praktiknya menyatu dengan rumah. Aku tahu alamatnya karena pernah mengantar Catri melakukan pemeriksaan kandungan di sini.
Waktu aku tiba, Mak Asih dan Mbak Lian sedang duduk di bangku panjang di teras. Di teras pula, Catri tengah berjalan bolak-balik, pelan-pelan dan sedikit ngangkang.
"Mas!" Catri menyambutku. Wajahnya terlihat cerah dan sumringah.
"Bagaimana?" tanyaku, memegang tangan Catri.
"Masih bukaan empat. Tadi sama Bu Bidan disuruh jalan, tidak boleh diam. Lahirnya biar cepat katanya," celoteh Catri.
Aku menghembuskan napas lega, lantas berjalan mendekati Mak Asih—yang tampak mengantuk—dan Mbak Lian, menyalami mereka berdua. Aku menengok kiri kanan. Tidak terlihat ada Pak Mus. Apa mungkin belum datang? Juga tidak ada Mas Dika. Apa mungkin sudah pulang?
"Bapak sudah pulang. Tadi dijemput Masmu," kata Mbak Lian seakan tahu yang kupikirkan.
"Dijemput Mas Dika? Bukannya Mas Dika tadi malam ikut mengantar ke sini?"
"Iya. Tetapi begitu tahu aku baik-baik saja, Mas Dika langsung pulang karena Ajeng cuma berdua sama Bapak." Catri yang menjawab.
Aku melongo, sedikit gagal paham. "Lha, Pak Mus-nya… kapan datang ke sini?"
"Ya semalam. Setelah Masmu tiba di rumah, Bapak langsung ke sini." Mbak Lian tersenyum.