Faith

Aque Sara
Chapter #18

18

"Bakso, Cak," kataku kepada penjual bakso rombong yang mangkal di depan rumah sakit.

"Ambil sendiri saja, Mas. Hitung-hitungannya belakangan." Cak Tohir tersenyum mempersilakan. Aku tahu namanya karena di rombong bakso itu tertulis "Bakso Sapi Cak Tohir".

Tanpa ba-bi-bu lagi, aku mengisi mangkuk sampai penuh. Kuahnya juga penuh. Dan tidak lupa dikasih sambal banyak-banyak. Ternyata lapar juga setelah hampir seharian menahan amarah. Sungguh, menahan amarah bukanlah perkara gampang.

Mak Asih masih entah sedang apa di dalam. Biarlah. Bodo amat.

"Siapa yang sakit, Mas?" tanya Cak Tohir.

"Istri saya… bukan sakit… melahirkan… operasi," jawabku tersendat-sendat karena sambil mengunyah.

"Oh, selamat ya, Mas." Cak Tohir menepuk pelan lenganku. "Habis berapa, Mas?"

"Apanya?"

"Ya biaya operasinya."

"Belum tahu. Bayarnya nanti kalau pasien sudah mau pulang." Sebenarnya petugas rumah sakit telah menginformasikan perkiraan biaya yang harus dikeluarkan. Aku bilang belum tahu karena menurutku itu bukan urusan Cak Tohir.

"Oh." Cak Tohir manggut-manggut. "Menginap berapa hari?"

"Hari keempat sudah boleh pulang."

"Alhamdulillah." Cak Tohir manggut-manggut lagi. "Anaknya laki apa perempuan?"

Aku menelan makanan di mulut, meneguk teh botol, lantas tersenyum menatap Cak Tohir. "Laki-laki. Anak saya laki-laki."

***

"Anakmu lucu, Gun. Montok." Mak Asih, dengan mata berkaca-kaca, menunjuk Si Kecil yang terbaring di boks bayi.

Catri telah dipindahkan ke ruang perawatan, sedangkan bayi kami masih ditempatkan di ruangan khusus dan belum boleh digendong. Di sekitarnya banyak bayi-bayi lain yang juga baru lahir. Pengunjung hanya diizinkan melihat dari luar ruangan.

Aku menempelkan wajahku pada jendela kaca, menatap Si Kecil. Dia tidak menangis. Matanya terpejam. Kedua tangannya terkepal, bergerak-gerak pelan. Bibirnya seperti sedang berkomat-kamit, lucu dan menggemaskan. Kepalanya terlihat botak. Hanya terdapat rambut tipis di bagian samping dan belakang kepala. Kulitnya masih kemerahan. Tampak pula gurat-gurat pembuluh darah di pipi kiri dan kanannya.

Ya Allah, semoga Engkau berkenan menjaganya, melindunginya, serta membimbingnya agar tetap berada di jalanMu yang lurus.

***

"Pak, jangan dikunci dulu. Saya mau masuk," kataku setengah berteriak kepada seorang satpam.

"Jam berkunjung sudah habis, Mas."

"Masih jam lima ini, Pak. Jam berkunjung kan sampai jam enam."

Satpam tersenyum ramah. "Seharusnya begitu, Mas. Tetapi semenjak wabah Corona, jam berkunjung terpaksa dipangkas dan jumlah pengunjung juga dibatasi."

Lihat selengkapnya