Faith

Aque Sara
Chapter #20

20

Hari Minggu jam setengah empat sore, aku pulang dari rumah Catri. Jalanan yang kulalui lengang. Memang bukan jalan besar, melainkan jalan sawah selebar tiga meteran dengan aspal yang masih baru. Baru ditambal maksudnya.

Sengaja aku mencari jalan pintas agar cepat sampai di rumah, agar bisa segera tidur setelah kejadian tadi siang.

Sungguh, menahan amarah bukanlah perkara gampang.

"Kenapa masih dipakaikan gurita?" tanyaku terkejut. Sudah berkali-kali kubilang kepada Catri agar Si Kecil tidak perlu dipakaikan gurita.

"Kata Ibu tidak apa-apa. Biar perutnya tidak buncit dan udelnya tidak bodong. Lagian ini juga longgar kok."

"Dia kurang nyaman bernapasnya, kurang lega. Tersiksa dia."

"Tidak, Mas. Ini lho guritanya longgar."

"Longgar apanya? Wong perutnya diikat begitu kok."

"Menurut sajalah, Mas, sama orang tua. Mereka lebih berpengalaman daripada kita."

"Hanya karena mereka orang tua, bukan berarti mereka selalu benar."

"Terus aku harus bagaimana? Aku juga sudah bilang ke Ibu berkali-kali agar Si Kecil tidak usah dipakaikan gurita. Tetapi aku malah dimarahi." Mata Catri mulai basah. "Kenapa bukan Mas Guntur sendiri yang bilang ke Ibu? Aku capek, Mas. Harus menyusui, terkadang sampai begadang kalau Si Kecil rewel. Sementara Mas Guntur ke sininya cuma seminggu sekali. Aku capek!"

Dan terjadilah pertengkaran itu.

Aku memang tidak sepenuhnya benar. Sebagai ayah, aku seharusnya menemani Si Kecil. Dan sebagai suami, aku seharusnya mendampingi Catri merawat Si Kecil. Tetapi aku tidak punya pilihan. Aku tidak bisa setiap hari datang ke rumah Catri sementara di rumahku sendiri keadaan Ayah seperti itu.

Lihat selengkapnya