Seumur hidup, baru tiga kali aku berada lama di rumah sakit. Pertama karena menunggui Ayah waktu itu. Kedua pasca operasi yang dijalani Catri. Ketiga karena kebodohanku sendiri.
Selama empat hari, aku terpaksa terbaring dengan jarum infus terpasang di lipatan lengan kananku. Tangan kiriku tidak bisa digerakkan. Retak tulang sehingga harus dipasangi gips. Kaki kiriku juga sama, tidak bisa digerakkan. Bukan lantaran ada tulang yang retak atau patah, melainkan karena lecet parah di area lutut. Terasa sakit jika ditekuk. Untunglah aku memakai helm sehingga kepala dan rahangku tidak mengalami cidera. Meskipun gara-gara helm juga sehingga daguku harus mendapatkan lima belas jahitan.
Garangan—sejenis musang, seukuran kucing—itu meloncat begitu saja dari rerimbunan ilalang, menyeberang jalan hanya beberapa meter di depanku. Mungkin karena binatang tersebut merasa takut atau terganggu oleh anak-anak kampung yang kulihat waktu itu.
Aku yang kaget refleks mengerem, roda depan dan belakang, sekuatnya. Apes memang, karena Nimo belum dilengkapi sistem pengereman ABS²² sehingga kedua ban langsung mengunci. Ban belakang bahkan terangkat cukup tinggi. Motorku oleng, kehilangan keseimbangan. Aku langsung terpental dan menghantam aspal, lalu terguling-guling. Apesnya lagi, kaca helm half face yang kukenakan pecah, dan pecahannya mengenai daguku. Darah seketika mengalir deras. Yang lebih apes lagi, darah itu tidak semuanya bercucuran ke aspal. Dengan posisi tubuh tengkurap dan muka menghadap ke aspal, sebagian darah yang mengalir dari daguku justru menggenangi bagian dalam masker, masuk ke mulut dan hidung, membuatku kesulitan bernapas.
Aku mencoba bangkit, namun tangan kiriku terasa sangat sakit. Dengan sisa tenaga dan dengan susah payah, aku memaksakan diri untuk mencopot helm, lalu melepaskan masker. Darah segar seketika tumpah ke aspal.
Beberapa anak kampung itu berteriak-teriak memanggil bantuan. Satu-dua, yang sudah berdiri di dekatku, menjerit ngeri.
Sesaat kemudian, suara motor terdengar mendekat. Ada dua orang yang menaikinya. Aku tidak begitu mendengar apa yang mereka katakan. Kepalaku pusing.
Salah satu dari mereka pergi lagi dengan sangat terburu-buru, sedangkan satunya tetap berjongkok di dekatku sambil berkali-kali menyebut asma Allah.