19 Agustus 2020
Aku mengulum senyum menatap Nimo yang terparkir di garasi. Selama hampir dua minggu, dia dirawat inap di bengkelnya Mas Dika. Fairing depan dan samping kirinya pecah. Lampu depan rusak, sedangkan lampu belakangnya copot dan terpental entah ke mana. Garpu patah dan harus diganti. Beberapa bagian mesin, terutama yang berhubungan dengan kopling, juga diperbaiki.
Sekarang Nimo sudah sembuh. Siap untuk melaju kencang lagi.
***
Menjelang Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1442 Hijriah, rumahku ramai. Pak Mus, Mak Asih, Mas Dika, Mbak Lian, dan Ajeng datang berkunjung. Sebenarnya bukan sekadar berkunjung. Mereka mengantar Catri dan Si Kecil. Ya, mulai hari ini anak dan istriku akan tinggal di sini. Kalau Mas Dika, dia sekalian sambil mengantarkan Nimo.
Lukman juga ada, sedang mengobrol bersama Ayah, Pak Mus, dan Mas Dika. Kawanku itu sangat baik hati. Sejak kecelakaan yang menimpaku, dia yang sering mengantar Ibu ke pasar, menggantikanku.
Mak Asih dan Mbak Lian tengah sibuk membantu Ibu di dapur. Nanti sore, bakda Magrib, akan diadakan kenduri di musala. Warga di kampungku memang terbiasa menyambut Tahun Baru Islam dengan menggelar syukuran. Mereka menyebutnya Suroan²³. Warisan adat turun-temurun.
"Tanganmu masih sakit, Gun?" tanya Mak Asih.
"Tidak, asal tidak dipakai buat mengangkat beban berat atau digerakkan sembarangan."
"Untuk sementara waktu istirahat dulu sampai benar-benar sembuh. Kalau dipaksakan beraktivitas, nanti malah lama sembuhnya." Ibu tersenyum, memasukkan perkedel ke minyak panas di wajan.
"Tetapi kasihan Guntur. Dia jadi tidak bisa menggendong Si Kecil," sahut Mak Asih.
"Yang penting Si Kecil sudah di sini. Buat obat biar Guntur cepat pulih," kata Mbak Lian. Ibu dan Mak Asih mengangguk setuju.
"Luka jahitannya sudah kering kan, Gun?" tanya Mak Asih lagi.
"Sudah. Tetapi ada bekasnya, sedikit." Aku menunjuk dagu.