"Sultan!" panggil Austin setengah berteriak.
"Iya Mah!" sahut Sultan dari kejauhan.
Sultan menghampiri Austin di ruang tamu yang sangat lega itu, ia menghamburkan dirinya ke sofa besar berwarna coklat empuk itu. Sambil kesulitan menaiki sofa besar yang belum begitu sampai di bokongnya.
Ia sudah besar sekarang. Umurnya sudah hampir menginjak angka 5 tahun, selama empat tahun kebelakang kehidupan keluarganya bisa di bilang sangat harmonis. Mamanya yang sangat perhatian, dan Papanya yang sangat sayang membuatnya nyaman didekat mereka.
Tak terasa seminggu lagi umurnya akan bertambah satu tahun. Setiap tahun acara ulang tahunnya cukup meriah dengan kedatangan kakek dan neneknya. Bukan temannya!
Selama empat tahun Sultan sama sekali tidak mendapat teman, karena hidupnya hanya berdiam di rumah bersama Mama dan seorang pembantu yang menjaganya.
Memang, hidupnya sangat mewah dengan fasilitas yang sangat dijamin membuat betah semua orang yang datang ke sana.
Rumahnya yang besar dan mewah, dan nyaman, sehingga ia pun malas untuk keluar rumah, ditambah, Papanya yang selalu tidak mengijinkan ia keluar dari lingkungan rumah. Sekalinya keluar menghirup udara segar itu hanya ke Mall menghirup udara AC yang dingin dan melihat tangga berjalan alias Eskalator.
Pria bertampang lekat indonesia, berambut hitam pekat sedikit kemerahan, dan berwajah putih bersih. Tak salah ia berwajah sangat bersih, karena ia selalu di dalam rumah dan Mall, selalu terkena deburan angin AC yang dingin.
Sultan mengatur napasnya yang tersenggal berlari dari taman, "Apa Mah?"
Austin tidak menoleh ke arah putranya, ia masih sibuk membaca majalah yang berisi gambar dan harga barang untuk anak-anak.
"Kamu, kan, minggu depan ulang tahun? Kamu mau kado apa?" tanya Austin sambil menyodorkan majalah berwarna hijau tosca yang di pegangnya.
Sultan menolak sodoran majalah, ia menggelang malas, "Aku gak mau kado lagi Mah! Mainan sama barang aku udah numpuk di kamar... sempit!" ujar Sultan dengan kepolosannya.
"Terus kamu maunya apa?" tanya Austin lagi sambil menarik dan menaruh majalah itu di meja dan membopong putranya, lalu ditaruh di pangkuannya.
Sultan menoleh ke belakang, menatap Mamanya penuh harapan, "Aku cuman mau sekolah, keluarga yang sayang sama aku, dan aku mau teman," ungkap Sultan sambil menghitung jari kecilnya yang mungil. Sontak Austin tertawa kecil mendengar ucapan polos putranya.
"Kalo yang pertama, dan kedua itu udah pasti sayang, tapi kalo yang ketiga kamu tanya sama Papa," Austin merengkuh badan putranya yang mungil, dan menaruh dagunya pelan ke bahu kanan putranya.
"Gimana aku mau ngomong sama Papa, aku aja jarang ketemu Papa!" sergah Sultan.
"Nanti biar Mama yang ngomong," ucap Austin sambil mencium pipi kanan putranya yang berwarna merah muda.
**♡**
Tepat hari minggu dimana, Fadhil, Papa dari putranya Sultan, yang seharusnya libur dan menuangkan waktu bersama keluarga. Tapi, itu tidak berarti untuk keluarga kecil Sultan.