Cha Jung Won POV
“K A U?” Mata gadis itu terbelalak saat menatapku. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa gadis ini harus bekerja seperti ini? Apakah orangtuanya menelantarkannya?
“Ikut aku!” Aku mencengkram lengannya dengan cukup kencang.
“Ke mana? Ini sudah malam aku mau pulang! Kau jangan macam-macam padaku.” Ini pertama kalinya gadis itu berbicara dengan memakai kosakata banmal padaku. Namun, aku tidak peduli! Lagi pula aku juga sudah terbiasa memakai kosakata banmal padanya.
“Ternyata kau orang yang terlalu percaya diri! Siapa juga yang mau berbuat macam-macam padamu? Aku hanya akan mengantarmu pulang.” Gadis ini sungguh terlalu percaya diri. Aku hanya kasihan padanya. Ini sudah malam, tak baik seorang gadis keluyuran malam-malam.
“Mengantarku? Untuk apa kau repot-repot mengantarku? Kau dan aku tidak seakrab itu untuk saling mengantar.” Gadis ini benar-benar keras kepala. Padahal, aku hanya berniat baik, tetapi dia sama sekali tak melihat kebaikanku.
“Sekarang sudah larut malam. Bahaya pulang sendiri. Untuk apa kau harus bekerja paruh waktu seperti ini? Apa kau tidak lelah? Apa orangtuamu tidak sanggup membiayaimu?” tanyaku berang. Aku benar-benar tak habis pikir dengan keluarganya. Mengapa mereka begitu tega membiarkan putrinya bekerja paruh waktu seperti ini?
“Dengar ya TUAN BESAR. Aku tidak seberuntung dirimu yang bisa membuang uang berjuta-juta won dalam sehari hanya untuk membeli minuman dan makanan. Tadi saja karena kesalahanmu aku harus ganti rugi! Setengah uang gajiku hilang hanya karena minuman sialan yang kau minum! Sekarang aku tidak tahu bagaimana hidupku sebulan ke depan tanpa gaji! Sudah cukup aku berbicara denganmu. Aku lelah, aku mau pulang! Kau tidak perlu mendekati ataupun menemuiku lagi! Hidupku sial sejak bertemu denganmu!” bentaknya.
“Orangtuamu ke mana?” tanyaku dengan wajah berang. Entah untuk alasan apa, aku benar-benar taksuka jika gadis ini harus bersusahpayah bekerja.
“Ternyata kau senang mencampuri urusan orang lain ya! Lepas! Aku mau pulang, besok sekolah. Masih ada tugas sekolah yang belum aku selesaikan!” Gadis itu melepaskan cengkraman tanganku dengan kasar. Ia berjalan dengan langkah panjang-panjang.
Aku mengikuti Kim Na Ra dari belakang dengan mobil merahku. Perempuan ini benar-benar kepala batu, bukannya bersyukur aku dengan baik hati ingin mengantarnya pulang malah bersikeras jalan kaki. Aku penasaran dengan si muse ini. Kenapa dia sampai harus bekerja paruh waktu seperti ini? Ke mana orang tuanya? Kalau pun dia tidak mempunyai orangtua, dia pasti memiliki saudara. Memiliki KTP saja belum, berani-beraninya kerja. Heran!
Dia masih berjalan dengan langkah panjang-panjang. Aku mempercepat laju mobilku dan menghadangnya. Dia tersentak kaget.
“Masuk!” ucapku seraya membuka kaca mobilku.
“Tidak perlu!” jawabnya ketus.
“Kau benar-benar kepala batu!”
“Apa? Sudah aku katakan, kau dan aku sama sekali tidak saling mengenal! Kau dan aku tidak sedekat itu sampai aku harus menuruti perintahmu TUAN atau mungkin kau sudah jatuh cinta padaku?” Ya Tuhan, perempuan ini benar-benar terlalu percaya diri! Sejak kapan mengantarkan seseorang harus didasari rasa suka terlebih dahulu? Ah~~ babo[1]!
“Ya~! Secantik apa wajahmu sampai aku harus menyukaimu?” Aku membuka pintu dan menyeretnya masuk ke dalam mobilku.
“Lepas!” Ia berusaha melepaskan cengkramanku.
“Shut up! Kau hanya perlu duduk. Aku akan mengantarmu pulang karena hari sudah malam. Akan sangat berbahaya kalau kau bersikeras ingin naik kendaraan umum. Di mana rumahmu? Tunjukkan arah jalannya padaku.”
“Apa? Apa aku tidak salah mendengar? Bukankah lebih berbahaya jika aku ikut denganmu?”
“Sekarang jawab pertanyaanku, kau akan pulang naik apa? Bus? Taksi? Kereta bawah tanah? Malam-malam seperti ini orang-orang di luar sana lebih berbahaya dibandingkan aku.”
“Kau tidak perlu beralibi! Sudahku bilang kita tidak saling mengenal. Kau tidak ada kewajiban untuk mengantarku pulang.”
“Alright! Aku akan memperkenalkan diri. Aku Mike dan aku ingin mengantarkanmu pulang. Sekarang tunjukkan jalan menuju rumahmu.” Entah karena alasan apa aku malah mengantar gadis ini pulang. Khawatir? Mungkin. Padahal perempuan ini sama sekali tidak pernah bersikap baik padaku. Untuk apa aku bersusah payah ingin mengantarkannya?
…,
“Kau tinggal di sini?” tanyaku heran saat melihatnya turun dari mobilku menuju ke rumah atap.
“Ya, kenapa? Kau tak perlu takjub seperti itu! Aku memang tinggal di rumah atap.” Gadis itu berbicara sambil menatap sinis padaku.