FAKE LOVE

Cici. Su
Chapter #1

Istanbul


Diary Kaynan:

Senin, 27 November 2017


Udara menerpaku bagai gelombang air dingin, sangat kontras dengan udara panas negara yang aku tinggalkan. Bandara Istanbul yang luas dan modern terasa sangat dingin. Nafasku mengepul membentuk awan putih kecil saat aku melangkah keluar dari pesawat, kot yang ku kenakan tidak cukup mampu menghalau hawa dingin yang terasa meresap ke dalam tulangku. Perasaan terasing yang sudah tidak asing lagi menghinggapi perutku. Bandara, dengan dinding putih steril dan suara yang bergema, terasa seperti sel tahanan sementara, tempat transit—bukan tujuan.

Namun, bahkan di lingkungan yang steril itu, ada secercah antisipasi. Aku dapat merasakan energi kota, dengungan ribuan cerita yang terungkap tepat di balik dinding Bandara. Aku hampir dapat mencium aroma rempah-rempah, mendengar panggilan untuk sholat, merasakan energi bersemangat yang aku tahu sedang menugguku di luar sana.

Dingin bukan sekadar sensasi fisik. Itu adalah pengingat akan perjalanan yang baru saja aku lakukan, jarak yang telah aku tempuh, dan hal-hal yang tidak diketahui yang terbentang di depan. Namun, dengan setiap langkah, aku merasakan kegembiraan yang meningkat, rasa petualangan, kemungkinan. Istanbul menanti, dan aku siap untuk merangkul kekacauan dan keindahannya, kehangatan dan kesejukannya.

Kami berjumlah dua puluh empat orang sudah termasuk pemandu rombongan—namanya Andrian. Dari sekian banyak peserta, rata-rata mereka adalah sekeluarga, dalam satu keluarga terdiri dari dua sampai empat orang, tetapi ada juga yang sama sepertiku merupakan solo traveler. Aku telah mengenal beberapa peserta sejak di Bandara Soekarno-Hatta, ada juga yang aku kenal sejak pertama kali daftar di travel agent. Namanya Bu Liana dan Pak Sutomo, mereka adalah sepasang suami istri yang sedang menikmati masa pensiun, aku berkenalan dengan mereka sejak awal mendaftar di PT. Jelajah Dunia Travel & Tours yang kebetulan bertemu di sana. Bu Liana sangat ramah, malah jauh sebelum kami berangkat, aku cukup sering ngobrol dengan Bu Liana melalui aplikasi WhatsApp; merencanakan memakai baju warna apa dan berapa banyak pakaian yang akan di bawa, serta pernak-pernik lainnya, Bu Liana cukup menaruh perhatian padaku apalagi ketika tahu aku belum berkeluarga dan pergi sendirian. “Semoga menemukan jodohnya dalam perjalanan ini Mbak Kaynan”, tuturnya dalam sebuah obrolan yang ku aminkan sambil tersenyum. Kalimat seperti itu tidak asing lagi di telingaku, entah berapa ratus orang pernah mengucapkannya untukku, namun aku tidak tahu kalimat yang di ucapkan oleh siapa yang pada akhirnya akan di kabulkan Tuhan.

Selain dengan pasangan suami istri—Pak Sutomo dan Bu Liana, aku juga berkenalan dengan wanita paruh baya usia limapuluh tahunan, namanya Bu Lasmi, kami duduk bersebelahan dalam pesawat Turkish Airlines, tetapi selama di atas pesawat itu nyaris tidak ada obrolan apapun—seperti biasa aku bukan orang yang mudah membuka diri terhadap orang yang baru ku kenal, apalagi ketika aku memperhatikan penampilannya yang cukup ramai dan agak norak, kupikir mungkin aku tidak harus berteman dengannya. Dia mengenakan mantel berwarna tosca, kacamata hitam dan kerudung turban warna oren, kulitnya terbilang putih, wajahnya di poles bedak yang cukup tebal, lipstik warna menyala merah dan alisnya dibentuk dengan pensil alis berwarna cokelat tua. Sesekali dia seperti ingin membuka obrolan denganku, tetapi aku tidak begitu ramah padanya, yang membuat dia menyadari bahwa dia harus mengurungkan niatnya untuk berbicara denganku. Ketika sudah hampir separuh perjalanan dan malam semakin larut akhirnya aku bisa tertidur—selama beberapa saat kepalaku bersandar pada bahu Bu Lasmi yang tetap terjaga. Aku langsung minta maaf ketika aku tersadar. “Tidur saja, tidak apa-apa”, ujarnya tidak keberatan bahunya menjadi sandaranku, namun tentu saja aku tidak melakukannya, aku merasa sudah tidak bisa tidur lagi. Dari situ aku merasa bersalah telah underestimate terhadapnya, perlahan aku mengubah ekspresi wajah ketidakramahanku menjadi sedikit ramah.

“Tidak, saya pergi sendirian kok”, jawabnya. Dia terlihat sangat senang mendengar aku mengajaknya bicara, apalagi saat aku menitipkan tas selempangku padanya dan bilang ingin ke kamar kecil, dia menyarankan aku membawa botol bekas minum, dia bilang di dalam toilet hanya ada tissue dan aku paham maksudnya. Sejak saat itu aku dengan Bu Lasmi menjadi teman, dia memanggilku Non, panggilan itu mengingatkan ku pada cerita-cerita jaman penjajahan Belanda sekaligus membuat aku merasa tersanjung, sehingga dalam hati bertanya “Apakah aku terlihat seperti orang kaya? haha”. Sayangnya ketika sudah sampai di Bandara Attaturk-Istanbul, kami mendapati pembagian kamar hotel yang telah ditentukan oleh panitia, dimana satu kamar berisi empat peserta berdasarkan gender-nya, kecuali pasangan suami istri atau satu keluarga akan mendapatkan satu kamar yang sama, dan aku kebetulan tidak sekamar dengan Bu Lasmi, hal ini membuat dia sedih.

Pagi itu acara dimulai sekitar jam tujuh waktu Istanbul, setelah kami menyelesaikan proses imigrasi, sholat subuh, dan lain-lain. Kami menuju pintu keluar Bandara dengan menggerek koper masing-masing. Aku sendiri hanya membawa satu koper ukuran sedang, lalu di punggungku tas ransel dan sebuah tas selempang yang berisi dokumen-dokumen perjalanan dan dompet berisi uang cash. Di depan pintu keluar rupanya telah ada tour guide yang menunggu—seorang lelaki berperawakan sedang, penampilannya bersih dan rapi, ia adalah tour guide yang jauh-jauh hari telah dipersiapkan untuk mengatur jalannya perjalanan wisata dari travel agen PT.Jelajah Dunia Travel & Tours. Lelaki itu menyambut kami dengan ramah lalu mempersilahkan kami untuk meletakkan koper atau selain barang berharga di tempat yang tidak jauh dari pintu utama keluar Bandara, sebab nantiannya akan ada team yang akan mengaturnya untuk langsung diantar ke kamar hotel masing-masing. Setelah semua berkumpul, Andrian sebagai ketua rombongan menyampaikan briefing sesuai itinerary yang telah kami ketahui sebelumnya; hari pertama adalah menuju hotel untuk check in yang akan diantar oleh shuttle bus yang menjemput kami ke Bandara. Dalam perjalanan menuju hotel, kami akan diantar dulu ke sebuah restoran Indonesia untuk sarapan.

Restoran itu tepat berada di pinggir jalan—bukan jalan raya, tetapi jalan itu cukup lebar, aku rasa cukup untuk dilalui tiga mobil berdampingan sekaligus. Di pinggir jalan ditumbuhi pohon-pohon tinggi dengan daun yang lebat, sehingga area di sekitar itu cukup asri. Aku dan rombongan memasuki restoran itu—masih pagi, mungkin sekitar jam setengah delapan waktu Istanbul. Kami disambut oleh pelayan-pelayan restoran yang semuanya laki-laki. Meskipun menu makanannya khas Indonesia, tetapi pelayan-pelayan itu bukan orang Indonesia, semua pelayan yang kulihat masih terlihat muda, mungkin usianya masih duapuluhan—posturnya tinggi-tinggi, kulitnya pucat, matanya coklat atau abu-abu, khas ras kaukasia. Kami mengantri prasmanan.

Aku menuju meja makan untuk empat orang, di sana terisi tiga orang Ibu-ibu yang sudah terlihat tua, aku menempati kursi kosong di depan Ibu-ibu yang wajahnya terlihat tidak ramah kepadaku, tapi aku sama sekali tidak terganggu dengan sikapnya itu. Sebenarnya Bu Liana melambaikan tangannya ketika aku sedang mencari tempat duduk, namun kulihat di mejanya sudah cukup penuh, padahal meja yang dia tempati adalah meja berukuran besar—muat sampai dua belas orang, dan masih ada satu kursi kosong tersisa. Kulihat Bu Lasmi bergabung di sana juga. Aku juga melihat seorang lelaki muda duduk persis di depan Bu Lasmi, mengenakan mantel berwarna coklat dan topi kupluk, dia menatapku dari kejauhan, matanya seolah-olah ingin menelanku.


Diary Kaynan:

Selasa, 28 November 2017


Lelaki muda yang duduk bersama Bu Liana dan Pak Tomo di restoran itu bernama Henry. Aku tidak tahu nama lengkapnya, tetapi orang-orang memanggilnya Henry, kadang ada juga yang hanya memperpendeknya dengan sebutan Ry. Perawakannya tinggi menjulang, tubuhnya agak kurus, kulitnya gelap. Kurasa usianya di kisaran tiga puluhan atau lebih, yang jelas pasti lebih muda dariku. Aku tahu namanya karena sering mendengar orang memanggil dia dengan sebutan nama itu, jadi akhirnya aku tahu kalau dia bernama Henry. Dia termasuk peserta yang populer, apalagi sejak mulai dijodoh-jodohkan dengan Vera. Gosip ini tersebar cepat selama dalam trip. Vera adalah teman sekamarku. Dia gadis manis baru lulus S2 dari sebuah perguruan tinggi bergengsi di Jawa. Meskipun aku sekamar dengannya, tetapi aku tidak begitu akrab, aku jarang bergabung dengan dia, baik itu ketika jalan atau makan. Vera dekat dengan Eva yang juga teman sekamarku. Biasanya menjelang tidur mereka bergosip tentang peserta cowok-cowok yang masih lajang. Sebenarnya, hanya dua orang yang masih single, yaitu Henry dan Lucky. Kedua anak muda ini konon kabarnya sukses di bidangnya masing-masing; Henry sukses di bidang entrepreneur sedangkan Lucky sukses dalam karir di pemerintahan sebagai PNS. Vera dan Eva lebih sering menyebut nama Henry dalam obrolannya, terlebih jika telepon kamar berdering, sudah bisa dipastikan kalau itu Henry yang menelepon dari lobby hotel yang menyediakan empat buah pesawat telepon untuk sambungan lokal khusus dalam area hotel tersebut. Biasanya telepon berdering ketika kami sudah istirahat dalam kamar, dan yang dicari pasti Vera. Aku tidak pernah nimbrung jika Vera dengan Eva sedang membahas Henry. Di samping tidak tertarik dengan topik yang mereka bahas, terkadang aku merasa terlalu tua untuk bergaul dengan mereka, maka akupun memaklumi anak-anak muda seperti mereka sedang seru-serunya mencari cinta sejati. Berbanding terbalik denganku yang kian hari-kian skeptis dengan cinta. Di mataku rasanya tak ada pria yang menarik hatiku. Akankah aku bisa jatuh cinta lagi? Aku membatin. Kadang aku berharap aku akan dipertemukan dengan seseorang dalam perjalanan ini—maksudku dipertemukan dengan jodohku. Mungkin jika aku beruntung aku akan bersebelahan duduk di pesawat dengan seorang pria ganteng, bersih, baik, lalu tak sengaja kami terlibat percakapan yang pada akhirnya membuat kami saling tertarik satu sama lain. Namun faktanya yang duduk di sampingku selain Bu Lasmi adalah seorang bule paruh baya yang sedang flu berat. Untunglah kondisi badanku sedang fit sehingga flu dia tidak menular kepadaku. Kupikir sekarang aku harus berhenti berandai-andai mendapatkan teman duduk seperti dalam imajinasiku—kurasa cerita itu hanya terjadi dalam film atau cerita novel saja, sebab entah berapa puluh kali perjalanan telah ku tempuh, baik darat, udara maupun laut, tapi aku tidak pernah kebetulan menemukan teman seperjalanan seperti yang ku angan-angankan itu; seorang gadis dalam perjalanan bertemu pria lajang rupawan, hartawan, dermawan lalu berkenalan dan saling jatuh cinta lalu menikah dan bahagia. Atau barangkali memang belum, siapa tahu suatu saat akhirnya bertemu? Tapi adakalanya juga aku berfikir mungkin lebih baik meyerah saja untuk tidak lagi berharap.

Aku berusaha memejamkan mata ketika jarum jam menunjuk di angka sembilan malam waktu Istanbul. Aku benci berada dalam kamar dimana di dalamnya ada orang lain yang baru saja ku kenal. Parahnya meskipun sudah kenal aku masih merasa asing satu sama lain. Itulah alasan kenapa aku sangat sulit untuk tertidur, padahal seharian ini aku dan peserta lain menjelajahi tempat-tempat bersejarah seperti Hagia Sophia, Blue Mosque, dan menyebrang ke Selat Bosphorus yaitu perbatasan antara Benua Eropa dan Benua Asia. Itu sebabnya Turki dikenal dengan negara yang berada di dalam dua benua. Aku masih mendengar bisik-bisik Vera dan Eva di sela-sela aku berusaha memejamkan mata, sesekali mereka cekikikan, kedengarannya mereka sedang bercerita tentang cowok. Kabarnya Eva akan segera menikah, dia telah bertunangan—itu yang kudengar. Padahal di antara kami wanita yang masih gadis, Eva tidak masuk dalam hitungan yang cantik. Malahan postur tubuhnya termasuk curves bahkan big size, kulitnya coklat, wajahnya berjerawat, tetapi dia wanita yang selalu mendapat perhatian tunangannya; di video call setiap malam. Sementara Vera kelihatannya masih jomblo, apalagi aku, tidak usah ditanya. Tapi Vera mungkin sebentar lagi akan mengakhiri status jomblonya, dia hanya tinggal memutuskan mana yang mau dipilih; Henry atau Lucky. Sebab kedua lelaki itu katanya bersaing merebut perhatian Vera.


Diary Kaynan:

Rabu, 29 November 2017


Ini adalah hari ketiga aku di Istanbul. Entah kenapa begitu sulit bagiku untuk mendapatkan chemistry dengan teman-teman sekamarku. Kurasa panitia tur telah salah menempatkan aku bersama mereka. Aku malah lebih akrab dengan Emak-emak limapuluh tahunan daripada anak-anak muda seperti Vera dan Eva atau dengan Henry dan Lucky. Padahal meskipun usiaku di atas mereka, orang cenderung menganggap kami seumuran. Pagi itu Vera dan Eva masih memakai piyama. Mereka mau turun untuk sarapan. Acara tur memang dimulai sekitar jam sembilan pagi, jadi sebelum itu peserta dipersilahkan untuk sarapan dulu dan bersiap-siap. “Mbak Kaynan, ayo sarapan dulu,” ajaknya, tapi aku menolaknya dengan alasan mau mandi dulu. Aku termasuk orang yang tidak memiliki kepercayaan diri untuk tampil alakadarnya di depan umum; dengan piyama, belum mandi pula. Akhirnya Vera dan Eva pergi meninggalkanku.

Setengah jam kemudian aku baru keluar kamar dan langsung menuju lift yang akan membawaku turun ke restoran hotel yang berada dua lantai di bawah lantai kamarku berada. Suasana belum begitu ramai, hanya aku sendiri di dalam lift. Mungkin karena orang-orang sudah sejak pagi menuju restoran agar menu makanan masih komplit. Sebab jika agak terlambat biasanya pilihan menu makanan tidak sesemarak pada saat baru dibuka. Tapi aku tidak begitu mempermasalahkan. Entahlah, selama di Istanbul aku merasa tidak begitu selera makan. Aku merasakan berat badanku terasa ringan. Ya, itu semua karena aku tidak banyak makan karena tidak terlalu berselera.

Baru turun satu lantai, lift kembali terbuka. Seseorang masuk. Aku sedikit terkejut ketika kulihat ternyata yang masuk adalah seorang pria yang tidak lain adalah Henry, lelaki yang sering menjadi topik perbincangan Vera dan Eva. Akupun memaksakan diri memberikan seulas senyum kepadanya, membantu menekan tombol segitiga agar pintu lift menutup kembali—setelah aku mengkonfirmasi tujuanya, yaitu sama-sama akan menuju lantai di mana restoran itu berada.

Selepas itu selama di dalam lift kami hanya terdiam. Aku sendiri merasa tidak perlu untuk berbasa-basi. Mungkin dia juga sama. Kurasa dia terlalu sungkan kepadaku sehingga sikapnya 180 derajat berbeda dengan caranya bersikap kepada gadis-gadis itu—maksudku kepada Vera dan Eva. Dengan mereka, kulihat dia begitu akrab dan tidak canggung. Tetapi ketika di depanku terlihat begitu membeku. Tak lama kemudian kami sampai di tujuan. Pintu lift terbuka dan kami keluar bergegas menuju ruang makan.

Aku menoleh ke arahnya ketika tiba-tiba dia mengajak bicara padaku pada saat mengantri mengambil makanan. Dia menawarkanku untuk makan bersamanya juga teman-temannya dalam satu meja. Dia menunjuk ke sebuah sudut meja yang dimaksud. Terlihat Andrian, Lucky dan lain-lain sudah menunggunya. Namun aku menolaknya secara halus dengan alasan Bu Lasmi telah duduk di meja lain dan aku sudah berjanji akan makan bersamanya. Tentu saja Henry sudah kenal juga dengan Bu Lasmi, sebab mereka pernah duduk bersebelahan ketika dalam shuttle bus, dan mereka terlihat sudah akrab satu sama lain. Beberapa kali aku nge-gap mereka bersenda gurau. Tak jarang kulihat mereka tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan. Aku malah jarang tertawa.


Diary Henry:

Senin, 27 November 2017

Lihat selengkapnya