Mei 2016
Diary Kaynan:
Aku masuk rumah sakit. Kamar rumah sakit terasa steril, sangat kontras dengan kehangatan tempat tinggalku. Udara di sana mengandung aroma antiseptik yang samar, yang selalu mengingatkanku akan kerentananku. Dinding putih tampak menutupi sekelilingku, menggemakan rasa ketidakpastian yang berputar-putar di dalam diriku. Dimasukkan ke rumah sakit, untuk pertama kalinya, merupakan campuran emosi yang aneh. Tentu saja rasa takut, kecemasan yang mendalam tentang hal yang tidak diketahui, potensi rasa sakit, kemungkinan penyakit. Namun, ada juga rasa lega, karena akhirnya diperhatikan, karena bisikan tubuhku dianggap serius.
Suara-suara rumah sakit, bunyi bip mesin yang terus-menerus, suara perawat yang pelan, derap kereta dorong yang menggelinding, semuanya berpadu untuk menciptakan irama yang unik, simfoni perawatan medis. Rasanya meresahkan sekaligus menenangkan, sebuah bukti tarian halus antara teknologi dan sentuhan manusia.
Ada rasa kerentanan, perasaan ditelanjangi, baik secara fisik maupun emosional. Kemandirianku, kendaliku yang biasa, digantikan oleh rasa ketergantungan pada staf medis, para ahli, para penyembuh. Itu adalah pengalaman yang merendahkan hati, sebuah pengingat akan kerapuhanku, dan juga, sebuah bukti akan ketahanan tubuh manusia yang luar biasa.
Namun di balik rasa takut dan ketidakpastian, ada secercah harapan. Sebuah harapan untuk penyembuhan, untuk pemulihan, untuk kembali ke rasa normal, untuk mendapatkan kembali kekuatanku, untuk menyembuhkan dan kembali ke kehidupan yang aku ketahui. Dan bahkan di lingkungan asing dan steril seperti itu, aku menemukan rasa nyaman dalam pengetahuan aku tidak sendirian.
Dinding rumah sakit tampak mendesah lega saat aku didorong keluar. Udara terasa lega, menjanjikan penyembuhan yang berbeda. Namun, kelegaan itu diwarnai dengan rasa sakit yang pahit, kerinduan akan kenyamanan rumah yang sudah dikenal, pelukan lembut kampung halamanku, tangan penuh kasih dari orangtuaku.
Perjalanan pulang terasa seperti ziarah. Setiap gundukan di jalan mengingatkanku akan kerapuhanku, tentang kerapuhan hidup itu sendiri. Keheningan mobil, dengungan mesin yang pelan, tampaknya memperkuat kecemasan yang menggelegak di dalam diriku. Apakah aku benar-benar sembuh? Apakah tubuhku cukup kuat untuk menghadapi tantangan di depan?
Aku tiba di kampung. Aroma tanah yang sudah dikenal dan asap kayu memenuhi panca indraku. Gelombang kenyamanan membasahiku. Namun, kelegaan itu berumur pendek. Rumah, yang dulunya merupakan surga kehangatan dan tawa, kini terasa seperti penjara. Aku terkurung di tempat tidur, tubuhku melemah, jiwaku terkungkung.
Dunia di luar jendelaku berdengung dengan kehidupan, irama kehidupan desa terus berlanjut, tetapi aku berada di dunia yang jauh. Dengungan lembut perhatian orangtuaku, sentuhan lembut tangan mereka, kehangatan cinta mereka yang tak terucapkan, semuanya terasa menenangkan sekaligus menyesakkan.
Aku mendambakan kemerdekaan yang selama ini aku anggap remeh, kebebasan untuk berjalan, berbicara, tertawa, untuk menjadi bagian dari dunia sekali lagi. Namun untuk saat itu, tubuhku menuntut istirahat, jiwaku mendambakan pelukan penyembuhan dari kampung halamanku.
Kesepian adalah teman yang terus-menerus, beban yang mengendap di dadaku, bisikan di telingaku. Itu adalah kesepian karena penyakit, keterasingan, ketergantungan, dan beban.
Namun, bahkan dalam kondisi yang rapuh ini, ada secercah harapan. Cinta orangtuaku, irama kampung halamanku yang familier, kenyamanan tempat tidurku yang tenang, semuanya menawarkan rasa aman, janji penyembuhan. Aku tahu aku tidak sendirian, tidak benar-benar sendirian. Aku dikelilingi oleh cinta, perhatian, dan dukungan yang tak tergoyahkan dari keluarga dan kampung halamanku.
Ini adalah waktu untuk beristirahat, untuk berserah diri, untuk membiarkan tubuh dan jiwaku pulih. Ini adalah waktu untuk menerima kerapuhanku, untuk bersandar pada cinta yang mengelilingiku. Dunia di luar jendelaku mungkin bergerak maju, tetapi aku sedang dalam perjalananku sendiri, perjalanan penyembuhan, hubungan kembali, menemukan kekuatan dalam keheningan. Dan aku tahu, dengan keyakinan yang tenang, bahwa aku tidak sendirian.
Juli 2016
Diary Kaynan:
Keheningan itu memekakkan telinga, bukan? Udara terasa pekat dengan tidak adanya suara-suara yang familier, irama menenangkan dari kehadiran orangtuaku. Aku telah sembuh, secara fisik utuh, tetapi rasa sakit di hatiku masih ada, sebuah pengingat akan ruang yang ditinggalkan karena meninggalkan mereka di kampung halamanku. Rasanya seperti sebagian dari diriku, bagian penting dari keberadaanku, tetap terikat pada tempat itu, pada kehangatan cinta mereka, keakraban kehadiran mereka. Aku terombang-ambing di dunia baru ini, kemandirianku tiba-tiba terasa seperti beban, harga yang tidak yakin ingin ku bayar.
Kenangan membanjiri kembali. Aroma masakan ibuku, suara tawa ayahku, kenyamanan yang tenang dari cerita-cerita yang mereka bagikan. Mereka adalah jangkar hidupku, tanah yang familier di bawah kakiku, dan sekarang mereka bermil-mil jauhnya, jarak yang hanya dijembatani oleh panggilan telepon atau obrolan video.
Kesepian bukan sekadar perasaan, melainkan kehadiran yang nyata, beban yang mengendap di dadaku, pengingat terus-menerus tentang apa yang telah aku tinggalkan. Kesepian adalah rasa rindu, kerinduan akan kenyamanan sederhana dari kehadiran mereka, hasrat untuk merasakan cinta mereka menyelimutiku sekali lagi.
Aku melewati satu malam panjang yang menyedihkan—tanpa keluargaku menemani. Aku berangkat kerja keesokan harinya—merasakan kembali duduk di depan meja kerjaku yang sudah lama ku tinggalkan. Tata letak di atas mejaku tidak banyak berubah, tidak juga kulihat tumpukan dokumen yang biasanya singgah di mejaku setiap pagi. Ya, seseorang telah mengambil alih peranku selama aku sakit. Kurasa aku juga sudah melewatkan banyak hal yang terjadi di tempat kerjaku—tiga bulan bukan waktu yang sebentar meninggalkan pekerjaan, dan aku merasa menjadi orang asing lagi. Merasa menjadi karyawan baru, merasa semua mata yang berpapasan denganku menatapku dengan rasa penasaran: penyakit apa yang ku derita sehingga begitu lama aku tidak masuk kantor? Pertanyaan itu adalah yang ku reka-reka di kepalaku yang mungkin ada di hati setiap orang. Memang benar, ada juga yang secara langsung melontarkannya dengan rasa curiga—tapi mungkin itu hanya perasaanku saja—soal dengan rasa curiga. Aku berusaha terlihat segar, meskipun sebenarnya badanku masih terasa lemah dan berat badanku terlihat lebih kurus.
Aku cukup merasa terhibur bila sedang berada di tempat kerja, mungkin karena fokusku teralihkan oleh pekerjaan dan juga karena banyak orang. Tapi perasaan itu seketika berubah ketika aku pulang ke rumah—aku tinggal sendirian. Ada perasaan hampa menyelimuti hatiku. Hampa yang aku rasakan meliputi perasaan takut tidak berjumpa lagi dengan orang-orang yang aku sayangi, merasa banyak bersalah pada orangtuaku, tidak cukup membahagiakan mereka, merasa banyak mengecewakan, terlebih di usiaku yang tidak muda lagi aku masih hidup sendiri. Betapapun kedua orangtuaku tidak mendesakku untuk segera mengakhiri lajangku, namun aku tahu pasti jauh di lubuk hatinya, mereka menginginkanku aku segera menemukan jodoh yang akan membahagiakanku.
Masalah jodoh memang di luar kuasa manusia. Dia serupa kelahiran dan kematian yang sudah ditetapkan, tidak bisa diperlambat ataupun dipercepat, semuanya akan datang tepat pada waktunya—aku tidak meragukan itu. Cantik atau tampan bukan sebuah jaminan bahwa dia akan mendapatkan jodohnya dengan cepat. Bahkan kadang sering terjadi sebaliknya. Wanita atau lelaki yang dikaruniai rupa biasa saja bahkan jelek justru lebih cepat dan mudah mendapatkan jodohnya daripada wanita atau lelaki yang rupawan. Bukan masalah tidak ada yang mau, terkadang masalahnya adalah si wanita atau si lelaki rupawan itu yang tidak mau, sebab ini perkara hati—tidak bisa dipaksakan, kecuali mereka mau melakukannya karena sebuah alasan, semacam dipaksa dijodohkan. Aku beruntung memiliki kedua orang tua yang tidak menganut prinsip “menjodohkan anaknya”. Mereka menyerahkan kendali hidupku sepenuhnya padaku. “Ah kamu terlalu pemilih”—begitu biasanya komentar orang terhadapku terkait masalah jodoh. Memilih memang hak setiap orang, kenapa tidak? Tentu saja aku harus memilih—memilih yang kurasa memang memilihnya karena aku ingin, aku tak akan memilih seseorang yang tidak aku inginkan dan aku juga akan memilih orang yang juga memilihku.
Aku berusaha membuat hatiku terdistraksi, maksudku saat hari-hari yang kujalani cukup berat, terutama jika sedang tidak berada di tempat kerja. Aku merasa kehidupanku stagnan, kosong, dan tidak ada kemajuan. Mungkin itu disebabkan kondisi kesehatanku yang belum pulih seratus persen. Kadang ada perasaan cemas dan timbul semacam pertanyaan “what’s going on in my body, why does it take so long to get back normal again?”—ada perasaan takut menghantui. “It’s okay, everything is gonna be alright just need time, trust me”—sisi lain hatiku mencoba menghibur diri, meskipun kadang itu tidak selalu berhasil membuatku terbebas dari perasaan khawatir.